السبت، ٢١ نوفمبر ٢٠٠٩

الجمعة، ١٣ نوفمبر ٢٠٠٩

26.9.08
Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa

Guru para Kiai dan Habaib

Ia dikenal sebagai guru para ulama dan habaib. Seperti ulama yang lain, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Meski sudah berusia 85 tahun, ia masih membuka taklim di Surabaya.

Sore itu langit cerah. Suasana di sekitar sebuah gedung di perkampungan Arab Jalan Kalimasudik II Surabaya tampak lengang. Melalui lorong gang sempit di kawasan yang tak jauh dari kompleks Ampel, Hannan bin Yunus Assegaf sempat berziarah ke rumah Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa, seorang ulama yang kini sudah berusia 85 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai muballigh di berbagai majelis taklim di Jakarta. Bisa dimaklumi jika cukup banyak santrinya yang kini menjadi ulama di Jakarta, seperti K.H. Abdurrahman Nawawi, K.H. Thoyib Izzi, K.H. Zain, dan lain-lain.
Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, pada 1921, Habib Syekh Al-Musawa putra pasangan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Musawa dan Sayidah Sa’diyah. Sejak kecil, putra kedua dari tiga bersaudara ini dididik langsung oleh ayahandanya, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya. Pada 1930, menginjak usia sembilan tahun, ia belajar ke sebuah rubath (pesantren) di Tarim, Hadramaut. Di sana ia berguru kepada Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiry, pengarang kitab Al-Yaqut an-Nafis, dan Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, pengasuh Rubath Tarim. Ia belajar fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf, selama 10 tahun.
Namun yang paling ia senangi ialah tasawuf. ”Pelajaran tasawuf sangat saya senangi, karena merupakan salah satu jalan manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga menganjurkan orang menjadi bijaksana dan lebih berakhlak,” kata Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa. Selain itu, menurut dia, tasawuf mudah dipelajari – baik dalam keadaan senang maupun susah. Maka ia pun dengan tekun mempelajari kitab tasawuf karya Imam Ghazali, seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, dan lain-lain.
Semangat belajarnya yang tinggi membawanya belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Meski waktu itu Timur Tengah tak lepas dari imbas suasana Perang Dunia I, tekadnya yang besar tak menyurutkan langkahnya menuju Makkah. Di tengah kecamuk perang itulah, dengan mengendarai unta ia berangkat dari Tarim ke Makkah. Di tengah perjalanan Habib Syekh Al-Musawa terpaksa singgah di beberapa desa, bahkan sempat pula mengajar di perkampungan Arab Badui. Bisa dimaklumi jika perjalanan itu makan waktu sekitar dua bulan.
Di Tanah Suci, ia langsung belajar kepada Sayid Alwy bin Muhammad Al-Maliky. Bermukim di Makkah sekitar lima tahun, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa juga berguru kepada Habib Alwy Shahab, Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus, dan Sayid Amin Al-Kutbi. Di Makkah, ia sempat bertemu para santri asal Indonesia, seperti Habib Ali bin Zain Shahab (Pekalongan), Habib Abdullah Alkaf (Tegal), Habib Abdullah Syami Alatas (Jakarta), Habib Husein bin Abdullah Alatas (Bogor).

Islamic Centre
Pada 1947 Habib Syekh Al-Musawa pulang, lalu menikah dengan Sayidah Nur binti Zubaid di Surabaya. Tak lama kemudian ia mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, sambil berguru kepada Habib Muhammad Assegaf di Kapasan, Surabaya. Setelah gurunya itu wafat, ia menggantikan mengajar di majelis taklim almarhum. Tiga tahun kemudian Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa pindah ke Jakarta, mengajar setiap Minggu pagi di majelis taklim Kwitang yang diasuh oleh Habib Muhammad Alhabsyi selama enam tahun. Ia membantu Habib Muhammad membangun Islamic Centre Indonesia (ICI), antara lain berangkat ke beberapa negara Islam di Timur Tengah pada 1967 untuk mencari dana pembangunan ICI.
Setelah pembangunan ICI selesai, Habib Syekh Al-Musawa mengajar majelis taklim asuhan K.H. Muhammad Zein di Kampung Makassar, Kramat Jati, selama setahun. Dan sejak 1971 ia mengajar di Madrasah Az-Ziyadah asuhan K.H. Zayadi Muhajir selama 30 tahun. Setelah Kiai Muhajir wafat, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menggantikan almarhum mengasuh taklim sampai 2003. Selain mengajar di Az-Ziyadah, ia juga mengajar di majelis taklim Habib Muhammad bin Aqil bin Yahya di Jalan Pedati, Jakarta Timur. Bukan hanya itu, ketika itu ia juga mengajar di 30 majelis taklim lain di berbagai tempat di Jakarta.
Pada 2003, Habib Syekh Al-Musawa kembali ke Surabaya, tinggal di rumahnya yang sekarang di Jalan Kalimasudik II. Bapak delapan anak ini (dua putra, enam putri) sekarang lebih banyak beristirahat di rumah. Meski begitu, banyak santri dari sekitar Surabaya yang datang mengaji kepadanya. Ia mengajar fiqih, nahwu, sharaf, balaghah, tafsir, dan tasawuf.
Saat ini fisiknya memang sudah berubah. Dulu gagah dan tampan, kini agak kurus, sementara wajahnya tampak agak cekung. Hanya dua-tiga patah kata yang ia bisa ucapkan, itu pun tentu saja tak lagi lantang seperti dulu ketika masih muda, saat ia masih bergiat sebagai muballigh. Jalannya pun tak lagi gesit.
Meski begitu, semangatnya untuk membangkitkan dakwah masih bergelora. Ia, misalnya, tetap menyampaikan tausiah, meski hanya kepada para tamunya.
Sorot matanya pun masih jernih, pertanda jiwa dan kalbunya bersih pula. Dengan segala keterbatasannya, Habib Syekh bin Ahmad Al-Musawa menerima tamu dengan hangat. Meski sulit berbicara, ulama yang selalu mengenakan gamis dan serban putih ini justru lebih sering menanyakan kondisi kesehatan tamunya.
Selain mengajar privat para santri yang datang ke rumah, ia masih sempat mengajar tasawuf di Majelis Burdah asuhan Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus di Jalan Ketapang Kecil setiap Kamis sore sampai menjelang maghrib. Salah satu buah karyanya yang mutakhir ialah kitab Muqtathafat fi al-Masail al-Khilafiyyah (Beberapa Petikan Masalah Khilafiah). Dan kini, meski sudah agak uzur, ia masih bersemangat menyelesaikan sebuah kitab tentang pernikahan dalam pandangan empat ulama madzhab. Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 12:18 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
23.9.08
BIOGRAFI SINGKAT MAULA AIDID
AL-IMAM MUHAMMAD BIN ALI SHAHIB AL-HAUTHOH

( MUHAMMAD MAULA AIDID )

Yang pertama kali mendapat gelar Aidid ialah waliyyullah Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi Qasam…………Rasulullah Muhammad SAW.

Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah SAW.

Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.

Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar Muhammad Maula Aidid . Maula berarti Penguasa.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk.

Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 Hijriyyah, istrinya bernama Syarifah binti Hasan bin Alfaqih Ahmad seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman, Abdullah, Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad. Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.

Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “.

Al-Imam Muhammad Maula Aidid mempunyai enam 6 orang, yaitu :

1. Ahmad Al-Akbar, keturunannya terputus, beliau sangat mencintai ilmu pengetahuan, mendalami ilmu pengobatan dan ilmu analisis. Lahir dan wafat di Tarim. Wafat tahun 862 H. bersamaan tahun wafat dengan ayahnya.

2. Abdurrahman Bafaqih, mempunyai 5 orang anak lelaki, 3 diantaranya meneruskan keturunannya, yaitu

* Ahmad

* Zein
* Atthayib

Abdurrahman Bafaqih wafat di Tarim tahun 884 H.

3. Abdullah Al-A’yan An-Nassakh Bafaqih mempunyai tiga orang anak lelaki :

*

Alwi (tidak punya keturunan)
*

Husein (keturunan di Qamar), mempunyai seorang anak yang bernama Sulaiman yang lahir di Tarim dan wafat di Al-Mahoo tahun 1009 H. Sulaiman ini mempunyai anak Husin, Husin mempunyai anak Abubakar. Al-Habib Abubakar ini menjadi Sultan di kepulauan Komoro di Afrika Utara.
*

Ahmad, mempunyai dua orang anak lelaki Wafat di Surabaya
Habib Syech dan Habib Muhammad Bafagih (Botoputih Surabaya Jawa timur)

a. Sulaiman

b. Ali, mempunyai dua orang anak lelaki :

- Abdurrahman

- Muhammad, lahir di Tarim Kemudian Hijrah dan menetap di Kenur (India), kemudian pindah ke Heiderabat (India)

dan wafat disana. Al-Habib Muhammad mempunyai 7 orang anak :

- Ahmad (tidak diketahui)

- Umar, wafat di India.

- Abdullah, wafat di Khuraibah.

- Husin Lahir dan wafat di tarim tahun 1040 H.

- Abubakar lahir di Tarim dan wafat di Qoidon tahun 1053 H.

- Ali wafat di Khuraibah.

Abdullah Bafaqih wafat selang beberapa tahun wafatnya Abdurrahman Bafaqih dalam perjalanan dari kota Makah Al-Mukarramah ke kota Madinah Al-Munawwarah yang dimakamkan disekitar antara kedua kota suci tersebut.

4. Ali Aidid wafat tahun 919 H, mempunyai tiga orang anak lelaki :

*

Muhammad Al-Mahjub, wafat tahun 973 H.
*

Abdullah.
*

Abdurrahman wafat tahun 976 H.

5. Alwi Bafaqih, keturunannya terputus pada generasi ke 7 tahun 1123 H.

6. Alfaqih Ahmad (tidak punya keturunan)

Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :

1. Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam

2. Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj

3. Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.

4. Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail

5. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib

6. Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf

7. Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror)

Murid-muridnya :

1. Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran

2. Ali bin Abubakar Assakran

3. Muhammad bin Ahmad Bafadhaj

4. Muhammad bin Ahmad Bajarash

5. Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra

6. Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)

7. Anak-anaknya.

Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib :

Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”. Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama.

Dalam Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan

Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.

Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206

Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali.

Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat di kota Tarim pada tahun 862 Hijriyyah. Dimakamkan di Pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.

Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.

Diantara silsilah yang melalui Al-Imam Abdurrahman bin Alwi (Ammil Faqih) antara lain :

1. Bin Semith 5.Al-Qoroh 9.Al-Hudaili

2. Baabud Magfun 6.Aidid 10.Basuroh

3. Ba Hasyim 7.Al-Haddad 11.Bafaqih

4. Al-Baiti 8.Bafaraj 12.BinThahir
Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 06:30 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Muhammad bin Hadi Assegaf


Habib Muhammad bin Hadi (1291H-1382H) adalah seorang alim lagi arif. Beliau telah mendidik ribuan murid yang kebanyakan menjadi ulama ahli fiqih. Dalam mendidik murid-muridnya, beliau banyak memberikan nasihat-nasihat yang dikemas dalam kisah-kisah yang penuh hikmah. Beliau menyadari bahawa bagaimanapun sulitnya pengertian yang hendak ditanamkan, tetapi kalau dituturkan dalam format kisah-kisah ringan akan jauh lebih mudah dicerna.

Kisah-kisah ini oleh Habib Muhammad bin Hadi disampaikan kepada para muridnya agar mereka lebih rajin menuntut ilmu, giat dalam beramal dan bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Mutiara Nasihat Beliau

Belajar, Bekerja Atau Beribadah

Setiap orang hendaknya menekuni jalan hidup yang ditetapkan Allah kepadanya.

Siapa yang ditetapkan Allah menjadi penuntut ilmu, hendaknya ia bersungguh-sungguh menuntut ilmu, mengulang-ulang pelajaran dan hafalannya, kemudian mengamalkan ilmunya.

Siapa yang ditetapkan Allah untuk mencari rezeki, hendaknya ia ridho dan bersungguh-sungguh dalam mengelola usahanya.

Begitulah, setiap orang hendaknya ridho dan mensyukuri apa yang telah ditentukan Allah baginya sehingga ia dapat mencapai derajat orang-orang yang sempurna. Penulis Zubad berkata:

Yang benar, kamu bersikukuh pada ketentuan Allah,
hingga Allah memindahkanmu darinya.

Ibnu Atha Illah berkata dalam Al-Hikam:

Keinginanmu untuk ber-tajrid*, padahal Allah meletakkanmu pada asbab** merupakan syahwat yang tersembunyi. Keinginanmu untuk mencari asbab padahal Allah meletakkanmu dalam tajrid akan menurunkanmu dari derajat yang tinggi. (II:72)

Catatan kaki:
* tajrid: mencurahkan semua perhatian, tenaga dan
waktu hanya untuk beribadah kepada Alloh.
** asbab: semua kemudahan (fasilitas) dan sarana
untuk memperoleh kenikmatan duniawi.

Sedekah

Selidikilah, adakah di antara saudara, kerabat atau tetangga kalian yang membutuhkan bantuan. Bagaimana kalian bisa mendapatkan rahmat Allah kalau kalian tidak mengasihi orang-orang miskin!

Kalian hendaknya memiliki rasa belas kasih, karena madad tak akan bisa diperoleh, kecuali dengan sikap kasih. Kasih sayang ini merupakan amalan
hati. Kakekku, Segaf bin Muhammad selalu mengamati keadaan orang-orang miskin dan tetangganya, padahal beliau sendiri adalah seorang yang miskin.

Beliau pernah berpesan kepada para pedagang di pasar, “Jika ada anjing lapar yang lewat, berilah korma. Kemudian catatlah korma-korma itu sebagai
hutangku.”

Perbuatan Habib Segaf ini sesungguhnya digerakkan oleh kasih sayang yang ditanamkan Allah ke dalam hatinya.

Kasihilah orang-orang yang miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, senangkanlah hati mereka.

Rasulullah SAW suatu hari berdoa, “Ya Allah kumpulkanlah aku ke dalam kelompok orang-orang miskin.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah) Beliau tidak
mengatakan, “Ya Allah, kumpulkanlah orang-orang miskin ke dalam kelompokku.”

Habib Segaf, jika duduk bersama orang-orang miskin, ia berkata, “Di hari kiamat nanti, janganlah kalian lupa kepadaku, karena di saat itu kalian memiliki kekuasaan.” (II: 48)

Ummul Mukminin Aisyah RA bersedekah sebutir anggur.
“Sedekah macam apa ini?” tegur seseorang yang kebetulan melihat.
“Tidak pernahkah kalian mendengar firman Allah: Barang siapa berbuat kebaikan sebesar atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS
Al-Zalzalah, 99:7) Berapa banyak atom yang terdapat dalam sebutir anggur?”

Allah berfirman, “Hendaklah orang-orang yang dilapangkan rezekinya memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS At-Tholaq, 65:7)

Dipetik dari:

(Tuhfatul Asyraf, Kisah dan Hikmah dalam kalam Habib Muhammad bin Hadi Asseqaf, Putera Riyadi) Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 05:33 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad



Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di kota Qeidun, Hadramaut, pada tahun 1299 H. Sanad keturunan beliau termasuk suatu silsilah dzahabiyyah, sambung-menyambung dari ayah yang wali ke datuk wali, demikian seterusnya sampai bertemu dengan Rasulullah SAW. Sebagaimana kebanyakan para Saadah Bani Alawi, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya sendiri Al-Habib Muhammad bin Thohir bin Umar Alhaddad.

Datuk beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad adalah seorang ulama besar di kota Geidun, Hadramaut. Sedangkan ayah beliau adalah seorang Wali min Auliyaillah dan ulama besar yang hijrah dari kota Geidun, Hadramaut ke Indonesia dan menetap di kota Tegal. Beliau Al-Habib Thohir banyak membaca buku dibawah pengawasan dan bimbingan ayah dan kakek beliau, sehingga diberi ijazah oleh ayah dan kakeknya sebagai ahli hadist dan ahli tafsir.

Setelah digembleng oleh ayahnya, beliau lalu berguru kepada :

As-Syaikh Abdullah bin Abubakar Al-Murahim Al-Khotib (di kota Tarim)

As-Syaikh Abud Al-Amudi (di kota Geidun)

Setelah itu beliau memulai pengembaraannya di sekitar kota-kota di Hadramaut untuk menuntut ilmu dan menghiasi kemuliaan nasabnya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau keliling dari satu kota ke kota yang lain untuk mengambil ilmu dari ulama-ulama besar yang beliau jumpai. Diantara para guru yang beliau berguru kepada mereka adalah :

Al-Habib Husain bin Muhammad Albar (di Gerain)

Al-Habib Umar bin Hadun Al-Atthas (di Masyhad)

Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas (di Huraidhah)

Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Atthas (di Maula Amed)

Al-Habib Umar Maula Amed (di Maula Amed)

Al-Habib Abdillah bin Umar bin Sumaith (di Syibam)

Al-Habib Abdullah bin Hasan bin Shaleh Al-Bahar (di Thi Usbuh)

Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (di Hauthoh Ahmad bin Zein)

Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (di Ghurfah)

Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)

Al-Habib Idrus bin Alwi Alaydrus

Al-Habib Abdulqodir bin Ahmad Alhaddad (di Tarim)

Itulah guru-guru beliau yang ada di Hadramaut, dimana mereka semua kebanyakan adalah ulama-ulama besar dan tidak jarang pula yang termasuk Wali min Auliyaillah.

Pada suatu saat, beliau ingin sekali menunaikan ibadah Haji dan lalu berziarah ke datuk beliau termulia Rasulullah SAW. Setelah mendapat ijin dari kakek beliau Al-Habib Thohir bin Umar Alhaddad, berangkatlah beliau menuju ke kota Makkah dan Madinah. Setelah beliau menunaikan keinginannya, timbullah niat beliau untuk belajar dari para ulama besar yang ada di dua kota suci tersebut. Lalu beliau menuntut ilmu disana dengan berguru kepada :

As-Syaikh Said Babshail

As-Syaikh Umar bin Abubakar Junaid

Al-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsyi (Mufti Syafi’iyah pada masa itu)

Setelah dirasa cukup menuntut ilmu disana, timbullah keinginan beliau untuk berhijrah ke Indonesia, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh ayah beliau Al-Habib Muhammad. Sesampailah beliau di Indonesia, beliau lalu berziarah ke makam ayah beliau Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad yang wafat di kota Tegal, Jawa Tengah, pada tahun 1316 H.

Keinginan beliau untuk selalu menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus terbawa jaman. Inilah salah satu kebiasaan beliau untuk selalu mencari dan mencari ilmu dimanapun beliau berada. Tidaklah yang demikian itu, kecuali beliau mencontoh para Datuk beliau yang gemar menuntut ilmu, sehingga mereka bisa menjadi ulama-ulama besar. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (di Surabaya)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (di Surabaya, yang kemudian beliau dikawinkan dengan anaknya)

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (di Bogor)

Al-Habib Salim bin Alwi Al-Jufri (menetap di Menado)

Al-Habib Idrus bin Husin bin Ahmad Alaydrus (wafat di India dalam dakwahnya)

Di Indonesia, beliau memilih untuk menetap di kota Bogor. Disana beliau berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Beliau dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hadits. Di kota Bogor beliau banyak mengadakan majlis-majlis taklim dan mengajarkan tentang Al-Islam. Sampai akhirnya beliau dipanggil oleh Allah menuju ke haribaan-Nya. Beliau wafat di kota Bogor tahun 1373 H dan dimakamkan di Empang, Bogor.

Seorang ulama besar telah berpulang, namun jejak-jejak langkah beliau masih terkenang. Nama baik beliau selalu tersimpan dalam hati para pecintanya…dalam hati yang paling dalam, menyinari kehidupan suram nan kelam…

Radhiyallahu anhu wa ardhah…
Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 05:30 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad, Wali Yang Disembunyi Kewaliannya

Hamid Ahmad bin Alwi Al-Haddad lahir di Ghurfah dekat Hawi, Hadramaut pada 26 Syaaban 1254H. Guru utama beliau ialah ayahnya sendiri, disamping itu beliau berguru kepada Habib Ali bin Husin Al-Haddad, Hadramaut. Sedangkan gurunya di Indonesia : Habib Abdurahman bin Abdullah Al-Habsyi dan Habib Abdullah bin Mukhsin Al-Attas.

Tidak diketahui tanggal yang pasti kedatangannya di Indonesia. Beliau mula-mula tiba di Timor, Kupang. Di sini beliau tinggal sementara dan kahwin dengan puteri di kota itu yang bernama Syarifah Raguan Al-Habsyi. Dari perkawinannya ia memperoleh anak yang bernama Muhammad. Setelah lebih kurang 6 tahun ia tinggal dikota itu lalu ia berangkat ke Jawa.

Tiba di Jakarta dan menetap di Kali Bata kira-kira 10 tahun. Beliau terkenal dengan julukan ‘Habib Kuncung’. Juga pernah tinggal di Bogor di rumah Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad. Habib Kuncung ini selama di Jakarta dan di Bogor tidak pernah kahwin.

Beliau ialah seorang ulama yang memilki perilaku ganjil (khoriqul a’dah) iaitu diluar kebiasaan manusia umumnya. Beliau ialah waliyullah yang sengaja disembunyi kewaliannya agar orang biasa tidak menyedari kelebihannya kerana dikhuatirkan umat Nabi Muhammad s.a.w. terlalu mencintainya dan agar tidak terlena dengan karamahnya tersebut maka Allah SWT menutup karamahnya tersebut dan hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat semua karamah beliau.

Beliau juga ialah ahli darkah, ertinya saat-saat orang dalam kesulitan atau sangat memerlukan beliau muncul dengan tiba-tiba.

Gelar Habib Kuncung yang diberikan kepada beliau mungkin kerana kebiasaan beliau mengenakan kopiah yang menjulang ke atas (muncung) dan perilaku beliau yang terlihat aneh dari kebiasaan orang pada umumnya terutama dalam hal berpakaian.

Beliau wafat dan dimakamkan di Kalibata pada umur 93 tahun iaitu pada tanggal 29 Syaaban 1345H/1926M. Muhammad, anaknya datang ke Jakarta dan kemudian tinggal dan kahwin di Pengadegan, Jakarta Selatan. Walaupun demikian dia tidak punya keturunan Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 05:22 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Abu Bakar Al-Attas Al-Habshi


Habib Abu Bakar Al-Attas(1) bin Abdullah bin Alwi bin Zain bin Abdullah bin Zain bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Alwi bin Abu Bakar Al-Habshi di lahirkan di Hottah, Hadramaut pada bulan Zulkaedah 1327H (1909M). Beliau adalah merupakan salah seorang daripada guru kepada Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Abdullah bin Abu Bakar bin Aidrus bin Umar bin Aidrus bin Umar bin Abu Bakar bin Aidrus bin al-Husain bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, pengasas Rubath Darul Musthofa di Tarim.

Guru-guru beliau

Semasa kecilnya ditarbiah oleh ayahandanya sendiri. Selepas ayahandanya, Habib Abdullah wafat pada tahun 1342H, tugas tersebut diambilalih oleh kekandanya Habib Hussin. Sebelum meningkat umur remaja, Habib Abu Bakar telah menghafal dan mendalami sebahagian besar isi al-Quran. Beliau menghadiri majlis-majlis ilmu, mendalami kitab-kitab ilmu dan menceduk rahsia-rahsianya yang bagaikan lautan dari ramai ulama. Diantara masyaikh beliau adalah:

• Habib Hussin bin Abdullah al-Habshi
• Habib Alwi bin ‘Abdullah al-Habshi
• Habib Alwi bin Abdullah Benshahab
• Habib Abdullah bin Idrus al-Idrus
• Habib Abdullah bin Umar asy-Syatrie
• Habib Abdul Bari bin Sheikh al-Idrus
• Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Saggaf (as-Saqqaf)
• Habib Ahmad bin Mohsin al-Hedhar
• Habib Ali bin Abdurrahman al-Habshi
• Habib Muhammad bin ‘Ali al-Habshi
• Habib Muhammad bin Salim Asree
• Habib Muhammad bin Hadi as-Saggaf
• Habib Umar bin Muhammad Bensmeth
• Habib Hasan bin Muhammad Balfaqih
• Syeikh Mahfuz bin Utsman
• Syeikh Salim Said Bakayir

Apabila kekandanya wafat pada tahun 1369H, ia beruzlah. Beliau menghampirkan diri kepada Ilahi dan tenggelam dengan zikrullah. Ia menghabiskan sepenuh masanya dengan beribadah di dalam keadaan tenag dan juga mengulangkaji kitab-kitab para ulama yang sholeh yang memberi manfaat.

Disebabkan tekanan dari pemerintah Yaman (pada ketika itu Yaman diperintah oleh komunis) beliau telah meninggalkan Hadramaut dan akhirnya bermastautin di Mekah sehingga akhir hayatnya.

Rutin Harian Beliau

Habib Abu Bakar tidak pernah membuang masa. Masanya dibahagikan untuk amal-amal ketaatan, beribadah, kerja-kerja kebajikan, memberi nasihat dan petunjuk di dalam hal urusan orang Islam. Beliau selalu tenggelam dalam zikrullah. Beliau berjaga malam dan terus beribadah sehingga waktu syuruk. Selepas shalat ia memakan sarapan yang ringan dan tidur sebentar.

Pada jam 10 pagi beliau shalat dhuha dan terus berzikir sehingga waktu zohor. Beliau shalat sunat qabliah zohor sebanyak 4 rakaat dan membaca surah Yasin disetiap rakaat. Selepas shalat zohor dan ba’diahnya, beliau makan tengahari dan berehat.

Jam 4 petang ia terus beribadat. Selepas shalat sunat asar 4 rakaat dan beristighfar 70 kali, beliau menunaikan shalat asar dan diikuti dengan zikir, wirid dan mengadakan majlis roha sehingga maghrib Kemudian diikuti dengan shalat fardhu maghrib, sunat ba’diah dan sunat awwabin sehingga masuk waktu isyak.

Habib Abu Bakar membaca ratib al-Haddad selepas selesai shalat isya’ dan ba’diahnya. Selepas makan malam beliau tidur pada jam 10 malam dan bangun semula pada jam 2 pagi untuk memulakan rutin ibadah hariannya.

Amalan beliau ini mencerminkan sebenar-benar isi kandungan kitab tariqah Ba’alawi – al-ilmu Nabras fi Tanbih ‘ala Manhaj al-Akyas oleh kerana beliau:

“….. mengikuti jejak salaf mereka yang berteraskan ilmu dan amal, pembersihan hati dari pekerti buruk, ketaatan dan amal shalih dengan niat yang bersih, berteman dengan orang baik, tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk kelakuan, tidak suka terkenal, menjauhi keramaian dan keriuhan disertai mengaku kekurangan diri, berakhlak mulia, bertekad tinggi, warak, zuhud, lemah-lembut, berhati-hati, meninggalkan orang yang memusuhi mereka dan menumpukan perhatian pada hal-hal akhirat ….”

Penulisan

Al-Habib Abu Bakar menghasilkan enam buah risalah dan salah satu daripadanya bertajuk “al-Tazkir al-Mustaffa”

Wafat

Habib Abu Bakar Attas wafat pada 28 Rejab 1416H dan jenazahnya di shalatkan di Masjidilharam dan diusung hingga ke perkuburan Ma’ala oleh ribuan manusia yang berzikir dan bertahlil yang tidak pernah di lihat ditanah haram.
__________________________________

Notakaki:

(1): Gelaran ‘al-Attas’ telah diberikan [kepadanya] oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Habshi. Rupanya ada rahasia disebalik nama gelaran tersebut. Semasa pemerintahan komunis di Hadramaut, hampir semua alim-ulama diburu dan diseksa dan ada yang dibunuh oleh kerana mempertahankan yang hak Allah. Contohnya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz Benshaikh Abu Bakar [ayahanda kepada Habib Umar], mufti Hadramaut yang ditangkap oleh pihak tentera selepas memberi khutbah dan shalat di Masjid Jame’ Tarim. [ketika terjadinya peristiwa ini, Habib Umar yang ketika itu berusia 9 tahun ada bersama ayahandanya] Ianya hilang ghaib begitu sahaja. Habib Abu Bakar termasuk golongan di dalam ‘hit list’. Dengan izin Allah, ia mengetahui rancangan kejam kerajaan dan sempat mengumpulkan kelurganya dan berlepas ke Jeddah melalui pesawat di Aden. Kepungan oleh pihak tentera dibuat merata-rata untuk mencari Habib Attas tetapi ia terselamat oleh karena di dalam paspotnya tercatat nama Abu Bakar saja. Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 05:06 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
21.9.08
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan

Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan

Orator ulung ini rajin menyampaikan taushiah di sejumlah majelis taklimdi Indonesia. Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan, sang
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Tangerang, Banten
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal oleh kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya kini menginjak 30 tahun. Tapi reputasinya sebagai ulama dan mubalig sudah diakui oleh kaum muslimin di Indonesia. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis-majelis haul dan maulid yang digelar di berbagai tempat; seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung,Palembang, Pontianak, Kalimantan, hampir berbagai daerah di negeri ini sudah dirambahinya.
Bakatnya sebagai dai memang bukan tidak saja karena dia adalah cucudari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, "Singa Podium" dan seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906 - 1969. Dai yang satu ini memang sedari kecil telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius. Wajar, jika agamanya pun cukup mendalam. Wajah ulama muda yang saleh ini tampak bersih, tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan bin Syekh Abubakar, salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Habib Jindan bin Novel juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. "Ketika dia menerjemahkan taushiah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar," tutur seorang habib diJakarta.
Lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majlis taklim dan sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. "Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di
Jakarta oleh saya punya Abah, yakni Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur," kenang Bapak 5 anak (4 putri, 1 putri) ini kepada alKisah.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai mubalig yangtermasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. Pada umur dua tahun, ia bersama keluarganya tinggal di Pasar Minggu bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad (PasarMinggu).
Lepas itu, pada umur lima tahun ia juga pernah dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba'bud dan putranya, yakni Habib Ali bin Muhammad
bin Husein Ba’abud, tepatnya di kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). "Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama disana dibilang mengaji, tidak juga. Tapi berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang," ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur 6 tahun ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur, pria berkacamata ini mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah Madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti di Bungur.
Ia kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah di Madrasah Jami’atul
Kheir, Jakarta hingga tingkat Aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami'atul Kheir, banyak guru-guru yang mendidiknya seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, KH. Sabillar Rosyad, KH.Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada Habaib dan Ulama di Jakarta,seperti di Madrasah Tsagofah Islamiyah yang diasuh oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya Ust AbuBakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senin, Jakpus) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sore nya ia juga sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Taklim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majlis itu, banyak habaib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulakhela Ustadz Hadi Jawwas dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, sehingga ia banyak berjumpa para ulama-ulama dari mancanegara yang datang ke Kwitang, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan masih banyak lainnya.
Pada setiap hari Minggu pagi, ia selalu hadir di Kwitang bersama Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar tahun 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Minggu pagi. Pertemuan kedua terjadi terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jamiat Kheir. Saatitu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulakhela dan UstadzHadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki oleh Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar, kalau dirinya juga bermarga bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum dengan khasnya sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelas yang masih terkenangnya sampai sekarang.
Sejak itulah hatinya tergerak untuk belajar ke Hadramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, namun sayang, sang pembawa Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas) meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi salah satu saudaranya sakit. Hingga akhirnya dalam keputusasaan tersebut, tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan kalau Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Diantaranya yakni Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadramaut. "Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim, kami tinggal di rumah Habib Umar, " tuturnya.
Baru dua minggu di Hadramaut, pecah perang antar saudara di Yaman berkecamuk. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan Pondok, karena Habib Umar perang atau tidak perang, ia tetap mengajar murid-muridnya. Dampak perang saudara ini dirasakan oleh seluruh penduduk Yaman, dimana listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. "Terpaksa kita masak dengan kayu bakar," katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. "Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah," tambahnya.
Saat itu Darul Musthofa memang belum berdiri seperti sekarang, situasi yang serba terbatas. Walau pun situasi yang susah, itu sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran taklim selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis-majelis taklim yang biasa di gelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba'alwi, Taklim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadramaut), belajar Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, yakni Syeikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan dengan salah satugurunya itu. "Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar Beliau mengomel atau memaki-maki kita. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun," katanya.
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah, para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh masing-masing santri dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum, itu juga menjadi saling menasehati antar santri. Setelah satu tahun menjadi santri ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih 4 tahun, sekitar tahun 1998 ia pulang ke Indonseia bersama dengan rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa murid-muridnya. Perlu diketahui, angkatan pertama ini hampir 98% semua dari Indonesia, hanya dua - tiga orang dari santrisetempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkanacara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia oleh sang Abah diperintahkan untuk berziarahdengan para Habaib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor dan sekitarnya. Ada beberapa pendorong dan memberikan motivasi dirinya untuk berdakwah, seperti sang Ayahanda, Habib Novel bin Salim bin Jindan, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf dan Habib Anis Al-Habsyi.
Menurutnya; masukan, didikan, motivasi oleh sang Abah memang ia rasakan. "Ikhlaslah dalam berdakwah. Yang penting, apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati," kata Habib Jindan menirukan Abahnya. Habib Novel bin Salim bin Jindan (alm) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya yakni Habib Salim bin Jindan.Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yangtangguh.
"Kalau ceramah jangan terlalu panjang.Selagi orang lagi asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosen, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau disitu ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain". Sampai masalah akhlak dan sopan santun dengan semua orang diajarkan, itu kesan dan masukan dari Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan kepadanya.
Selain berceramah, ia bersama sang adik, Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan dan adik-adiknya yang lain sekarang waktuya banyak dicurahkan untuk mengasuh pondok pesantren Al-Fakhriyyah yang terletak di Jln. Prof. Dr. Hamka, Kp. Gaga, RT 001 RW 04 No. 1 Larangan Selatan, Ciledug. Telp. (021) 7326416.



Nasab atau nisbah, artinya adalah hubungan. Setiap orang tidak akan selamat di akhirat melainkan apabila mempunyai nisbah kepada Rasulullah. Selama ia tidak mempunyai nisbah kepada Rasul, maka orang tersebut celaka, celaka, celaka!

Jangan salah paham dulu!

Nisbah itu ada dua macam:

1. Nisbah thiniyyah.
Nisbah thiniyyah artinya hubungan darah dengan Rasulullah shallallahualaihi wasallam, yang kita kenal mereka merupakan para sayyid atau syarif.

2. Nisbah diniyyah.
Nisbah diniyyah adalah hubungan agama dengan Rasulullah, dan itu adalah hubungan umumnya muslimin.

Nisbah thiniyyah tidak akan membawa manfaat apa-apa tanpa diiringi nisbah diniyyah, sebagaimana kita ketahui dari Allah dalam Al-Qur'an tentang anak Nabi Nuh. Dan manakala seseorang mempunyai kedua nisbah ini, maka sudah jelas dia lebih mulia daripada yang hanya mempunyai satu nisbah, sebab ini merupakan kemuliaan dari Allah Ta'ala yang telah menjadikan rumah tangga mereka sebagai rumah tangga ilmu dan kenabian, rumah tangga akhlak, serta syama'il dan kewalian.

Manakala seorang sayyid telah memutus dirinya dari rumah tangga tersebut, maka ia akan hancur berkeping-keping dan menjadi hina, serta binasa.

Berkata seorang muhibbin kepada Habib Abdullah bin Husin bin Tohir,
"Ya Habib Abdullah, saya tidak bersedih kalau saya ini bukan seorang sayyid, sebab sayyid itu kedudukannya tinggi sejak ia dilahirkan. Apabila sayyid tersebut menyimpang berarti telah menjatuhkan dirinya dari tempat yang tinggi, seperti orang yang jatuh dari gunung pasti hancur berkeping-keping. Adapun saya kalau menyimpang, maka hanya seperti jatuh dari meja dan tidak terlalu parah.

Berkata Habib Abdullah,
"Perkataan orang inilah yang telah mendorongku untuk tetap menjunjung tinggi nasabku dengan mengikuti jejak datuk-datukku."

Kita melihat banyak sayyid sekarang yang hanya membanggakan nasab dan leluhurnya, akan tetapi menyimpang jauh dari jalan leluhurnya. Sayyid, tapi tidak sholat. Sayyid, tetapi tidak puasa. Sayyid, tapi tidak tahu syurutil wudhu. Bahkan tidak mengetahui sejarah Rasulullah, siapa anak-anak dan istri-istri beliau.

Jadi kalau ada yang bilang, "Sayyid tidak tahu kalau dirinya sayyid," maka inilah orangnya.

Habib Abdullah Alhaddad berkata,

ثم لا تغتر بالنسب لا ولا تقنع بكان ابي

Kemudian jangan tertipu dengan nasabmu, jangan! Dan jangan merasa puas dengan perkataan "Dahulu ayahku begini atau begitu".

Dalam qasidah yang lain, beliau berkata,

لقد تأخر أقوام وما قصدوا نيل المكارم واستغنوا بكان ابي

Sesungguhnya telah ketinggalan suatu kaum, yang mana mereka tidak berusaha mencapai kemuliaan dan kehormatan, dan merasa cukup dengan ucapan-ucapan "Dahulu ayahku orang besar, atau ini dan itu".

Dikatakan oleh Habib Umar bin Hafidz,
"Membanggakan mereka sebagai leluhur bagi orang yang berjalan mengikuti jejak mereka merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan. Adapun bagi orang yang menyimpang dari jalan mereka, merupakan ghurur / tertipu (memalukan)."

Paling tidak, kalau kita tidak bisa menjadi seperti mereka, maka tirulah sedikit demi sedikit dari amalan mereka. Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 09:31 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan

Habib Ahmad bin Novel bin Jindan
Menyejukan, Tapi Mengobarkan Semangat

Kehadiran dan taushiyahnya menyejukan. Tapi, ketika menyuarakan kebenaran, alumnus Darul Musthofa ini bersuara lantang.
Keluarga Habib Salim bin Jindan (1906-1967) dari Jakarta, memang dikenal banyak melahirkan dai-dai yang tangguh. Dua putranya, yakni Habib Novel dan Habib Shalahudin, juga dikenal sebagai orator-orator ulung yang kukuh dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahy Munkar pada kurun 1970-1990-an. Demikian dengan dengan cucu-cucu dari Habib Salim Jindan yakni Habib Jindan dan Habib Ahmad.
Sang kakak, Habib Jindan dikenal sebagai orator yang mumpuni di banyak acara keagamaan di tanah air, mulai acara haul sampai maulid Rasulullah Shala;llahu Alahi Wassalam.
Demikian pula dengan sang adik yakni Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan yang juga dikenal luas dalam berdakwah. Di luar pondok, ia membina beberapa majelis ta’lim. Pada Sabtu sore di Otista, tempat alm Habib Salim bin Jindan, kakeknya. Malam Sabtu di Majelis Ta’lim Jasatul Musthafa. Malam Senin di Perumahan Ciledug Indah, Tangerang.
Malam Rabu di Ponpes Al-Fachriyyah, membaca kitab Sabilul Iftikar, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Malam Kamis di Pondok Kacang. Dalam majelis taklim tersebut, Habib Ahmad mengajak hadirin bersama membaca Ratib Hadad, kemudian pengajian dengan membaca kitab-kitab Habib Abdullah bin Alwi Al-Hadad. Setelah itu dilanjutkan dengan tanya jawab bagi mereka yang memiliki persoalan tertentu.
Dari perjalanan dakwahnya, para habib dan ulama melihat dan menyimak kealimannya, sehingga sampai sekarang ia banyak tampil di muka umum terutama di kalangan habaib. Jejak dakwah dai yang satu ini memang terbilang sama dengan yang ditempuh dengan sang kakak, Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan. Usia muda bukan halangan dalam berdakwah, ia juga sering diminta mengisi taushiyah di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Bahkan juga di negeri manca, seperti Malaysia, Singapura dan lain-lain.
"Saya sebetulnya belum patut bicara hadapan para habaib sepuh, tetapi karena diminta ya …sulit rasanya menolak permintaan habib sepuh," katanya. Ia mewanti-wanti supaya dirinya tidak disejajarkan dengan para habib sepuh. Sebab dia merasa, ilmunya masih rendah. Disamping itu, ada sosok yang dihormatinya dan patut menempati tempat terhormat, yaitu sang kakak, Habib Jindan.
Namun yang jelas, kedauanya adalah pendakwah yang tangguh, orator ulung dan sosok dai yang kehadiran serta taushiyahnya menyejukan sehingga dinantikan umat Islam di berbagai belahan tanah air, bahkan mancanegara.
Selain dikenal luas sebagai dai, penerjemah bahasa Arab, pengasuh pesantren dan lain-lain, bapak tiga putra ini juga menaruh perhatian yang besar dalam mengelola zakat fitrah. Sejak tahun 2002 setiap memasuki bulan Ramadhan ia mengumpulkan para dari dan ustadz yang ada di sekitar Tangerang dan sekitarnya untuk mengikuti pelatihan zakat fitrah dengan baik dan benar di Ponpes Al-Fachriyyah, Tangerang Banten.
Habib Ahmad bin Novel, putra kedua Habib Novel bin Salim Jindan lahir di Jakarta 12 Januari 1982. Sejak kecil ia dididik ketat di lingkungan agama oleh keluarganya. Pertama dididik oleh sang ayah, yakni Habib Novel bin Salim Jindan yang saat itu tinggal di Bungur, Senen Jakarta Pusat. Ia mengawali pendidikan dasar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur, Bungur, Jakarta Pusat. Ia juga belajar diniyah pada sebuah madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti di Bungur.
Saat kelas enam SD atau tepatnya tahun 1992, Habib Novel pindah ke Larangan, Ciledug Tangerang dan mulai mendirikan Ponpes Al-Facriyyah, Ciledug. Habib Ahmad saat itu masih tinggal beberapa bulan bersama keluarganya di Bungur, Jakarta Pusat, karena ujian akhir nasional tinggal sebulan lagi. Lepas lulus sekolah dasar pada tahun 1992, ia melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah di Madrasah Tsanawiyah Darunnajah, Petukangan, Jakarta Selatan, tapi hanya menginjak kelas dua.
Sebagaimana kakak atau adik-adiknya ia juga sering diajak abahnya yakni Habib Novel dalam berdakwah. Sang ayah saat itu dikenal sebagai "Singa Podium", yang gaya pidatonya sangat memikat. Suaranya saat itu masih lantang, menggema dan membuat betah jamaah untuk mendengar orasi-orasinya."Abah saya, kalau berangkat berdakwah, sering mengajak anak-anaknya…," ujarnya mengenang.
Saat menginjak kelas dua, saat itu umurnya baru 13 tahun, ia melanjutkan belajar ke Hadramaut. Ketika itu Ustadz Abdullah Abdun, Malang mendapat jatah untuk mengirim santri-santri belajar ke Darul Musthofa, Hadramaut Yaman. Kebetulan, Ustadz Abdullah Abdun mempunyai kedekatan khusus dengan Habib Novel bin Salim bin Jindan, sehingga diikutsertakanlah Habib Ahmad belajar ke Hadramaut. Ia berangkat bersama Ustadz Haikal Al-Amiri (Palu), Ustadz Saleh Abdun (Malang), Ustadz Salim Nur (Malang) dan lain-lain.
Beruntung, ia bisa berangkat ke Hadramaut dan berguru dengan seorang pendidik dan orator ulung seperti Habib Umar bin Muhammad Al-Hafidz. Habib Umar adalah sosok pendakwah yang tak kenal lelah dan juga pengasuh Pondok Pesantren Darul Musthafa yang amat terkenal melahirkan dai-dai tangguh hingga saat ini.
Tahun 1990-an Republik Yaman baru merdeka dari penjajahan komunis dan oerang saudara. Saat komunis masih berkuasa, lembaga-lembaga pendidikan agama Islam di tutup. Mulai dari pesantren, ribath hingga majelis taklim. Termasuk ribath Tarim, yang saat itu diasuh oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syatiri. Bahkan, banyak ulama yang dibunuh.
Baru tahun 1990-1n Habib Umar mulai mendidik santri-santri yang berdatangan ke ribath yang beliau asuh. Beliau juga gigih berdakwah ke luar pesantren. Habib Umar mempunyai program khusus untuk menghidupkan lagi pesantren-pesantren yang ditutup saat komunis menguasai negeri itu.
Sesampainya Habib Ahmad di TArim sekitar tahun 1994, saat itu Habib Umar bin Hafidz sudah menggunakan masjid Maula Aidid sebagai tempat belajar santri-santri. Sedangkan para santri tinggal di samping bangunan masjid. Pesantren Darul Musthafa pada waktu belum dibangun. Di Tarim, majelis-majelis ta’lim memang ada dan santri-santri juga menghadirinya. "Kami hadir dalam pengajian-pengajian umum dan belajar di majelis-majelis yang ada di Tarim," ujarnya.
Menurutnya, Habib Umar adalah guru yang istimewa. "Kami semua berhubungan bukan seperti murid dengan guru, tapi seperti bapak dengan anak. Beliau tidak pernah marah secara pribadi," katanya. Sekalipun santri-santri ada yang nakal, karena masih anak-anak.
Ketika mulai berdatangan ke Hadramaut, oleh Habib Umar santri-santri dari Indonesia sering diajak untuk berdakwah."Kami tidak duduk di Tarim saja. Ada suatu Rubath di kota Syihr yang menjadi perhatian Habib Umar berdakwah….Tujuannya supaya hidup lagi kegiatan keagamaan di daerah tersebut."
Habib Umar juga membangun rubath di kota Hami’. Dengan langkah seperti itu, Habib Umar memancing santri-santri local untuk berpartisipasi, lalu mendidik mereka agar mampu mengelola dakwah secara mandiri di tengah masyarakat. Sekarang di Yaman bermunculan pesantren-pesantren baru.
Lemah lembut
Komunis hengkang dari Yaman dengan meninggalkan banyak luka. Dan mereka masih meningalkan permasalahan lain, misalnya paham Wahabi dan aliran-aliran lain yang masih marak saat itu. "Saat itu Habib Umar tidak gampang dalam berdakwah. Orang-orang Wahabi banyak memegang senjata api."
Pernah suatu ketika Habib Umar berdakwah dalam suatu acara Maulid di sebuah masjid yang dijaga ketat dengan senjata api oleh orang-orang Wahabi. Akhirnya beliau memilih masjid untuk berdakwah.
Setelah Habib Ahmad belajar kurang lebih empat tahun, Habib Umar mengirimnya ke sebuah tempat untuk berdakwah. Program dakwah itu memang lumayan lama sekitar dua bulan. Setiap kelompk terdiri dari delapan orang. "Semua berkesan. Karena selama empat tahun di peantren kesannya tertutup dari dunia luar. Saat itu saya di kirim ke daerah Dauan, sebuah tempat bersejarah. Di tempat itu terlahir banyak ‘auliya Allah, seperti Habib Muhammad Al-Muhdor, Syaikh Ali Baros, Habib Muhammad bin Thohir Al-Hadad dan lain-lain.
Habib Umar mengirimnya untuk berdakwah ke tempat itu selama dua bulan. Itu salah satu pengalaman yang sangat berkesan. Di Dau’an ia belajar mandiri. "Keadaan sangat susah. Di tempat itu, rombongan saya berhadapan dengan orang-orang Wahabi. Yang jelas, caranya tidak main keras. Kami sampaikan kepada masyarakat. Kalau mau ikut silahkan. Kalau tidak, terserah mereka."
Orang-orang Wahabi dan orang-orang yang mempunyai pemahaman lain dari Ahlussunah wal-Jama’ah lainnya, menurutnya terbagi menjadi dua kelompk."Ada kelompok yang mengikuti paham tersebut karena tidak mengerti, dan itu mereka mayoritas," kata Habib Ahmad.
Solusi yang ditawarkan untuk menghadapi mereka adalah dengan pendekatan yang lemah lembut."Sampaikan kepada mereka nasehat dengan lemah lembut dan dalil yang bisa diterima dengan akal mereka. Mereka kebanyakan tidak tahu dalilnya, karena mereka hanya mengikuti pendapat orang lain, dan itu mayoritas. Jadi, berikan dalilnya, insya Allah mereka terima pendapat kita," katanya.
Sedangkan kelompok kedua adalah yang lebih sulit. " Sebagian di antara mereka adalah gembong dari paham ini. Mereka sebenarnya tahu benar dan salah. Tapi permasalahannya, mereka seperti itu didasari bukan karena kebodohan, karena benci dan dengki," ujarnya.
Stelah belajar sekitar 6 tahun, pada tahun 2000 ia pulang ke Jakarta, kemudian menikah. Begitu pulang, ia langsung mengajar di Ponpes Al-Facriyyah, Tangerang, apalagi saat itu Habib Novel sedang sakit-sakitan. Namun, walau kondisi sang ayah dalam keadaan sakit, Habib Novel tetap mengajak putra-putranya untuk berdakwah ke tempat-tempat yang ada di Jakarta." Seakan-akan beliau mengatakan pada jama’ah, ‘Inilah penerus dakwah saya’."
Sang ayahanda, Habib Novel bin Salim bin Jindan wafat pada hari Jum’at (3 Juni 2005/ 24 Rabiul Akhir 1926 H, pukul 17.00 WIB dan dimakamkan keesokan harinya di kompleks Ponpes Al-Fachriyyah, Ciledug-Tangerang.
Setelah wafatnya sang Ayah, ia banyak mendampingi sang kakak yakni Habib Jindan mengasuh pondok pensantren Al-Fachriyyah Ciledug. Selain mengajar dan berdakwah, ia juga rajin menulis dan karyanya banyak disebarkan ke umat. Beberapa tulisan yang beredar diantaranya adalah Mutiara yang Indah tentang Zakat Fitrah, Amalan bulan Rajab,. Namun juga ada beberapa kita yang tidak beredar dengan luas (terbatas) masih dalam bahasa Arab, seperti Manakin Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Sifatul ‘Ulama Akhirah dan lain-lain. Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 09:23 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi


Penggerak Majelis Taklim di Tanah Betawi

Ia dikenal sebagai penggerak pertama Majelis Taklim di Tanah Betawi. Majelis taklim yang digelar di Kwitang, Jakarta Pusat, merupakan perintis berdirinya majelis taklim-majelis taklim di seluruh tanah air



Setiap Minggu pagi kawasan Kwitang didatangi oleh puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok, tidak hanya dari Jakarta, saja namun juga dari Depok, Bogor Sukabumi dan lain-lain. Bagi orang Betawi, menyebut Kwitang pasti akan teringat dengan salah satu habib kharismatik Betawi dan sering disebut-sebut sebagai perintis majelis Taklim di Jakarta, tiada lain adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi atau yang kerap disapa dengan panggilan Habib Ali Kwitang.

Jamaahnya makin hari makin bertambah banyak. Begitu pula dengan peringatan Maulid. Jamaah yang hadir setiap tahun bertambah banyak. Bak lautan manusia, mereka memadati setiap ruas jalan yang berada di sekitar kawasan Masjid Kwitang, Jakarta. Mereka seperti tersedot oleh pesona Simthud Durar.

Majelis taklim Habib Ali di Kwitang merupakan majelis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim. Karena selalu dibayang-bayangi dan dibatasi oleh pemerintah kolonial, Belanda. “Orang-orang Betawi sendiri baru menggelar majelis taklim setelah Habib Ali wafat. Sebelumnya tidak ada yang berani,” kenang K.H. Abdul Rasyid.

Maka, untuk mengenang jasa-jasa Habib Ali, tiga majelis taklim tersebut selalu membuka pengajian dengan membaca Surah Al-Fatihah, untuk dihadiahkan kepada almarhum.

Menurut beberapa habib dan kiai, majelis taklim Habib Ali Kwitang akan bertahan lebih dari satu abad. Karena ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali, kata mereka, mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, gibah, ataupun fitnah. Sebaliknya, almarhum mengembangkan tradisi ahlulbait, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.

Menurut K.H. Abdul Rasyid, banyak ulama Jakarta yang menjadi murid almarhum. Mereka belajar di Madrasah Unwanul Falah di Kwitang yang didirikan tahun 1920, sebagai madrasah modern pertama bersama Jam’iyyatul Khair. Sementara itu, oleh Habib Abdul Rahman, cucu almarhum, madrasah yang telah ditutup saat revolusi fisik dahulu sudah dibuka kembali. “Tanah yang dulu jadi tempat madrasah yang didirikan kakek saya sudah dibebaskan. Sekarang tinggal membangun kembali,” kata Habib Abdul Rahman.

Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar umat senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiah, dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW. Ia juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Habib Ali sendiri lahir di Kwitang, di jantung Jakarta Pusat pada 1286 H/1869 M. Dia adalah putra Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi. Ayahandanya, yang kelahiran Semarang, adalah kerabat pelukis terkenal Raden Saleh Bustaman, seorang sayid dari keluarga Bin Yahya. Ketika ia mulai tumbuh remaja, ayahnya yakni Habib Abdurrahman wafat pada 1881, dimakamkan di sebidang tanah di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki – yang kala itu milik Raden Saleh.

Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.
Simthud Durar

Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai wasiat ayahandanya yang kala itu sudah wafat. Tempat pertama yang dituju adalah rubath Habib Abdurrahman bin Alwi Alaydrus. Di majelis mulia itu ia juga membaca kitab kepada Habib Hsan bin Ahmad Alaydrus, Habib Zen bin Alwi Ba’abud dan Syekh Hasan bin Awadh bin Makhdzam.

Di antara para gurunya yang lain di Hadramaut yaitu Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (penyusun Simthud Durar), Habib Ahmad bin Hasan Alatas (Huraidah), dan Habib Ahmad bin Muhsin Al-Hadar (Bangil). Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana, lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.

Pulang dari Hadramaut , ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).

Ketika terjadi perang di Tripoli Barat (Libya), Habib Utsman menyuruh Habib Ali Kwitang untuk berpidato di masjid Jami’ dalam rangka meminta pertolongan pada kaum muslimin agar membantu umat Islam yang menderita di Tripoli. Padahal pada waktu itu, Habib Ali Kwitang belum terbiasa tampil di podium. Tapi, dengan tampil di podium atas suruhan Habib Utsman, sejak saat itu lidahnya fasih dalam memberikan nasehat dan kemudian ia menjadi dai.

Setelah itu, ia pergi ke Kota Pekalongan untuk berkunjung kepada Habib Ahmad bin Abdullah Al-Aththas. Saat itu hari Jum’at, selepas shalat Jum’at, Habib Ahmad menggandeng tangan Habib Ali dan menaikannya ke mimbar. Habib Ali lalu berkata pada Habib Ahmad, ”Saya tidak bisa berbicara bila antum berada di antara mereka.” Habib Ahmad lalu berkata kepadanya, ”Bicaralah menurut lidah orang lain”(seolah-olah engkau orang lain).

Ia mulai melaksanakan maulid akhir Kamis bulan Rabiul Awwal setelah wafatnya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sejak tahun 1338 H/1920 M sampai 1355 H/1937 M di madrasah Jamiat Kheir. Kemudian pada tahun 1356 H/1938 M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid Ar-Riyadh. Lalu maulid dipindahkan ke masjid tersebut pada tahun 1356 H. Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda.

Ukuran tanah masjid itu adalah seribu meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap bulan. Kesimpulannya, pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya mengherankan orang yang mau berfikir. Shalatnya sebagian besar dilakukannya di masjid tersebut.

Habib Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun, kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali.

Habib Ali sebagaimana para habaib lainnya juga suka melakukan surat menyurat dengan para ulama dan orang-orang sholeh serta meminta ijazah dari mereka. Dan para ulama yang disuratinya pun dengan senang hati memenuhi permintaan Habib Ali karena kebenaran niat dan kebagusan hatinya. Ia memiliki kumpulan surat menyurat yang dijaga dan dinukilkan (dituliskan ) kembali.

Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin dalam Rikhlatu Asfar menyebutkan perasaan kecintaan dan persahabatan yang sangat erat. Dalam catatan perjalanan itu, Sayyid Abubakar mencatat saat-saat perjalanan (rikhlah) mereka berdua ke berbagai daerah seperti ke Jawa, Singapura dan Palembang.”Saya juga menghadiri pelajaran-pelajarannya dan shalat Tarawih di masjid. Tidak ada yang menghadalangi saya kecuali udzur syar’i (halangan yang diperbolehkan oleh syariat).”

Pada salah satu surat Sayyid Abubakar ketika Habib Ali Kwitang di Hadramaut, menyebutkan, “Perasaan rindu saya kepadamu sangat besar. Mudah-mudahan Allah mempertemukan saya dan engkau di tempat yang paling disukai oleh-Nya.”

Ternyata setelah itu, mereka berdua dipertemukan oleh Allah di Makkah Al-Musyarrafah. Keduanya sangat bahagia dan belajar di Mekah, mengurus madrasah dan majelis taklimnya diserahkan kepada menantunya, Habib Husein bin Muhammad Alfaqih Alatas. Di Mekah ia mendapat ijazah untuk menyelenggarakan Maulud Azabi, karya Syekh Umar Al-Azabi, putra Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi.

Setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun Simthud Durar, wafat pada 1913, pembacaan Maulid Simthud Durar pertama kali digelar di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majelis taklim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simthud Durar dibaca di majelis taklim di Tegal, Jawa Tengah, kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu di Masjid Ampel, Surabaya.

Tahun 1919, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, pelopor peringatan Maulid dengan membaca Simthud Durar, wafat di Jatiwangi. Sebelum wafat ia berpesan kepada Habib Ali Al-Habsyi agar melanjutkannya. Maka sejak 1920 Habib Ali Kwitang mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Durar di Tanah Abang. Ketika Ar-Rabithah Al-Alawiyah berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut. Dan sejak 1937 acara Maulid diselenggarakan di Masjid Kwitang – yang kemudian disiarkan secara khusus oleh RRI Studio Jakarta.

Sebagai pecinta maulid sejati, dalam menghadiri peringatan Maulid SAW, Habib Ali Kwitang juga pernah membeda-bedakan pengundangnya. Tentang hal ini Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf pernah menceritakan dalam sebuah kesempatan. Suatu malam, rumah Habib Ali Kwitang diketuk oleh seseorang yang bermaksud mengundangnya menghadiri selamatan sekaligus maulidan. Istri Habib Ali lah yang membukakan pintu.

Orang tersebut lalu menyampaikan maksudnya untuk mengundang sang habib sepuh itu. Namun istri Habib Ali menggeleng, “Maaf, Habib sedang kurang enak badan. Saat ini beliau sudah akan tidur.”

Dengan tampak memelas orang itu memohon, “Tolong, Bu. Jama’ah sudah terlanjur berdatangan ke tempat saya, sementara ustadz kampung saya yang sedianya akan memimpin acara tersebut berhalangan hadir.

Belum lagi sang wanita tuan rumah itu menjawab, tiba-tiba Habib Ali Kwitang telah berdiri di belakangnya dengan pakaian lengkap. Ulama sepuh itu segera mengajak sang pengundang itu berangkat.

Ternyata rumah pria itu terletak di kawasan kumuh, dekat rel kereta api. Sesampainya di tempat itu, Habib Ali pun langsung memimpin pembacaan maulid dan menyampaikan taushiah. Betapa senangnya sang tuan rumah dan para tamu karena acara sederhana mereka dihadiri seorang ulama ternama yang karismatik.

Kemudian tibalah acara penutup, yakni makan bersama. Hidangan malam itu adalah nasi putih hangat dengan lauk belut goreng. Habib Ali Kwitang pun tertegun. Ia tak suka belut, namun ia tak ingin mengecewakan tuan rumah yang tentu sudah bersusah payah menyiapkan makanan itu.

Maka habib sepuh itu berkata dengan santun, “Wah menunya lezat sekali. Saya jadi teringat istri dan anak-anak saya. Maaf, Pak. Bolehkah makanan saya ini dibungkus dan dibawa pulang, agar saya bisa memakannya bersama keluarga di rumah?”

Tuan rumah yang mengira Habib Ali menyukai belut pun segera membungkuskan nasi dan belut tersebut. Dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga ia mengantarkan sang habib. Pagi harinya, matahari belum lagi sepenggalah ketika rumah Habib Ali Kwitang diketuk. Dengan bergegas Habib Ali membukakan pintu. Ternyata yang mengetuk pintu itu adalah sang pengundang Maulid tadi malam.

“Maaf, Bib. Nampaknya Habib sangat menyukai belut. Kebetulan saya pedagang belut. Sebagai tambahan ucapan terima kasih keluarga kami atas kehadiran habib tadi malam, kami memberikan sekedar luk untuk Habib sekeluarga,” kata orang itu sambil menyerahkan seember besar belut segar.

Kembali Habib Ali terbengong-bengong menyaksikan kepolosan tamunya itu. Dengan menampakkan senyum gembira, Habib Ali pun menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Dengan Ulama

Betapa erat hubungan antara ulama Betawi dan para habaib, dapat kita simak dari pernyataan (alm) K.H. M. Syafi’i Hadzami tentang dua gurunya, Habib Ali Al-Habsyi dan Habib Ali Alatas (wafat 1976). “Sampai saat ini, bila lewat Cililitan dan Condet (dekat Masjid Al-Hawi), saya tak lupa membaca surah Al-Fatihah untuk Habib Ali Alatas,” katanya.

Supaya dekat dengan rumah Habib Ali, gurunya yang tinggal di Bungur, Kiai Syaf’i Hadzami pindah dari Kebon Sirih ke Kepu, Tanah Tinggi. Ia juga tak pernah mangkir menghadiri majelis taklim Habib Ali di Kwitang, Jakarta Pusat. Ketika ia minta rekomendasi untuk karyanya, Al-Hujujul Bayyinah, Habib Ali bukan saja memujinya, tapi juga menghadiahkan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang Rp 5.000. Kala itu, nilai uang Rp 5.000 tentu cukup tinggi.

Demikianlah akhlaq para orangtua kita, akhlaq yang begitu indah antara murid dan guru. Kala itu para habib bergaul erat dan tolong-menolong dengan para ulama Betawi. Akhlaq yang sangat patut kita teladani sebagai generasi penerusnya.

Pada 1960, KH Syafi’i Hadzami berhasil menulis sebuah kitab berjudul Al-Hujajul Bayyinah (argumentasi-argumentasi yang jelas). Untuk karyanya ini, ia meminta rekomendasi kepada Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Ali Kwitang. Setelah membaca naskah kitab tersebut, Habib Ali bukan hanya memberikan rekomendasi dalam bahasa Arab, melainkan juga memberikan sebuah Al-Quran, tasbih, dan uang sebesar Rp 5.000 kepadanya – nilai yang cukup besar untuk ukuran saat itu.

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun. Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi majelis taklim tempat ia mengajar.

Sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh akidah Alawiyin.

Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi'i, K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah Islam.

Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi'i, sejak 1971 hingga 1985, memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah, dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.

Tidak mengherankan jika ketiga majelis taklim tersebut menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.

“Meskipun kitab kuning ini telah berusia hampir 300 tahun, masalah-masalah yang diangkat masih relevan,” kata K.H. Abdul Rasyid bin Abdullah Syafi'i, yang meneruskan Majelis Taklim Asy-Syafi'iyah.

Kini Asy-Syafi’iyah memperluas kiprahnya dengan membuka Universitas Asy-yafi’iyah di Jatiwaringin, Jakarta Timur. Sedangkan K.H. Abdul Rasyid A.S. membuka Perguruan Ilmu Al-Quran di Sukabumi. Sementara kakaknya, Hajjah Tuty Alawiyah A.S., yang pernah menjadi menteri urusan peranan wanita pada kabinet Habibie, meneruskan kegiatan dakwahnya dalam Badan Koordinasi Majelis Taklim se-Jabotabek. Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 08:47 1 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf


Ahli Ilmu dan Amal dari Pasuruan

Kota Pasuruan mendapat keberkahan dari Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf, seorang ulama yang menggerakan majelis ilmu. Ia seorang ahli ilmu dan amal, sehingga dakwahnya diterima oleh masyarakat luas

Dalam sebuah acara haul Alwi bin Segaf Assegaf, seorang waliyullah di Kebon Agung (Pasuruan), Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf seorang mufti yang mukim di Jeddah pernah berkata pada hadirin, “Bahwa kalian semua, utamanya masyarakat Pasuruan patut bersyukur kepada Allah SWT. Setelah kalian ditinggal Habib Alawy bin Segaf Assegaf, kalian mendapatkan Habib Jafar bin Syaikhon Assegaf. Dan setelah Habib Jafar wafat, kini pengantinya diteruskan oleh menantunya, yakni Habib Abdul Qadir bin Husin Assegaf.”

Di majelis Haul tersebut, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf meneguhkan maqam seorang awliya dari Pasuruan, yakni Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Sangat wajarlah kalau Habib Abdul Qadir mendapatkan maqam yang sedemikian tinggi di sisi Allah SWT. Hal itu tentu bukan satu hal yang berlebihan dan semua itu bukan diperoleh dengan gratis. Kemuliaannya itu diperoleh dari hasil jerih payahnya. Sehingga ia mendapatakan bisyarah (ganjaran) dari Allah SWT.

Hingga saat ini, sekalipun Habib Abdul Qadir telah wafat puluhan tahun yang lalu, namun kiprah dakwahnya dalam memakmurkan majelis ilmu semakin semarak di rumahnya yang terletak di Jl Wahid Hasyim Gg VII, atau tepatnya di sebelah barat masjid Jami Al-Anwar, Kota Pasuruan.

Sampai sekarang berbagai macam keagamaan mulai pembacaan kitab Ihya Ulumuddin, Maulid, Burdah dan peringatan Khotmil Qur’an tiap malam Ramadhan adalah rintisan dari Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Kini majleis-majelis dakwah itu masih diteruskan oleh salah satu putranya yakni Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf yang membuat kota yang bergelar kota santri itu makin bersinarkan ilmu dan syiar dakwah.

Habib Abdul Qadir bin Husein sendiri dilahirkan di Seiwun pada 1320 H. Ia merupakan putra dari Habib Husein bin Segaf Assegaf dan Hababah Salma binti Husin bin Alwy Assegaf. Ayah Habib Abdul Qadir ini masih satu saudara sekandung dengan Alawy bin Segaf Assegaf yang makamnya di Kebon Agung (Pasuruan).

Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan keluarga yang sarat dengan nilai-nilai religius. Keluarga dari Habib Abdul Qadir adalah ahlu ‘ilm wa ahlu amal. Pada usia yang sangat kecil ia sudah belajar Al-Quran dengan kedua orangtuanya. Ia belajar pertama kali dengan berguru pada Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja’.

Seiring dengan berjalan usianya ia tidak henti-hentinya menuntut ilmu dari orang yang alim ke orang alim yang alim yang ada di sekitar Hadramaut. Guru-guru dari Habib Abdul Qadir diantaranya adalah Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, Habib Hasan bin Abdurrahman Assegaf, Habib Alawy bin Abdullah bin Husin Assegaf, Habib Muhammad bin Hasan Aidid dan ulama-ulama yang ada di Tarim, Hadramaut.

Setelah sekian lama ia belajar menuntut ilmu agama, ia sempat berdiam diri di sebuah tempat yang bernama Basalim di Seiwun. Hingga ia mendengar keberadaan seorang auliya’ yang ada di Pasuruan. Rupanya ia ingin berkunjung dan bertemu dengan Habib Jafar bin Syaikhon Assegaf. Ia kemudian datang dari Hadramaut menuju Indonesia pada untuk menemui Habib Jafar di Pasuruan.

Begitu sampai di Indonesia, ia langsung menuju Pasuruan, Jawa Timur. Ketika itu Habib Jafar sedang menemui tamunya, diantaranya Habib Ahmad bin Ali Assegaf (alm) yang merupakan pendamping setia Habib Jafar. Begitu datang Habib Abdul Qadir, Habib Ahmad berkata kepada Habib Jafar, ”Ya Habib Jafar, kini kita kedatangan seorang tamu yang shalih yakni Habib Abdul Qadir bin Husin Assegaf, seorang soleh, ahli ilm dan amal dari Hadramaut.”

Kemudian diceritakan seluruh kebaikan Habib Abdul Qadir oleh Habib Ahmad bin Ali Assegaf. Lalu Habib Ahmad melanjutkan, “Kesempatan Habib Abdul Qadir datang di tempat ini. Lebih baik, jangan biarkan Habib Abdul Qadir meninggalkan kota ini. Caranya, kawinkan dengan salah satu putri Habib. Supaya dia berdiam di sini dan kelak meneruskan engkau, wahai Habib Jafar.”

Habib Jafar tidak menanggapi pernyataan dari pendamping setianya itu dan ia diam saja. Sampai Habib Abdul Qadir pamitan dan siap berangkat ke kota yang lain. Habib Ahmad bertambang bingung, “Kok tidak ditahan sama sekali?”

Setelah melepas Habib Abdul Qadir meneruskan perjalanan ke Jakarta, Habib Ahmad kembali berkata kepada Habib Jafar, “Sayang, kenapa tidak tahan tadi. Coba kalau dia menjadi menantu Habib, ia bisa meneruskan engkau, wahai Habib Jafar.”

Mendengar kecemasan dari Habib Ahmad, Habib Jafar dengan suara yang keras dan pandangan jauh ke depan berkata, ”Terbanglah kemana pun engkau suka, wahai burung! Tapi ingat, kendalimu ada di tangan saya. Sewaktu–waktu saya tarik dari Pasuruan, ia akan kembali ke kota ini. Ia tidak akan tingalkan tempat ini!”

Itulah perkataan dari seorang Waliyyulah, dan keyakinan dari Habib Jafar ini akhirnya terbukti. Walaupun, Habib Abdul Qadir sempat menikah di Jakarta, namun usia perkawinan itu tidak berlangsung lama. Habib Abdul Qadir akhirnya kembali ke Pasuruan dan menikah dengan salah satu putri Habib Jafar yang bernama syarifah Rugayah binti Habib Jafar Syekhon Assegaf. Dari perkawinan ini ia mempunyai 7 anak (3 putra, 2 putri).

Ibadahnya

Berbicara ibadahnya Habib Abdul Qadir sangat mengagumkan, sulit di jaman sekarang seorang ahli ibadah seperti ia. Dalam sebuah risalah, surat yang ditulis dari Habib Muhammad kepada Habib Ahmad tentang ibadah yang paling utama dari Habib Abdul Qadir di bulan suci Ramadan. “Hari-hari di bulan Ramadan selalu diisi dengan ibadah. Di setiap pertengahan malam ia bertahajud sampai 45 sebelum fajar, setelah itu ia baru melaksanakan sahur dengan keluarga. Setelah shalat Subuh berjamaah di masjid Jami’ Al-Anwar, ia berziarah ke makam Habib Jafar yang terletak persis di barat Masjid sampai terbit matahari.

Dan pulang beristirahat sejenak, di pertengahan shalat Dhuha dan tidak beranjak dari mihrabnya sampai datangnya waktu shalat Zhuhur. Setelah Zhuhur berjamaah, ia membaca 2 juz dari Al-Quran dan terus berada di mighrab sampai Ashar. Dan setelah waktu Ashar shalat di masjid dan raukhah, membaca kitab dan jelaskan isi kitabnya dan ada ulama yang menterjemahkan kepada orang-orang yang hadir.

Setelah itu 20 menit menjelang buka, ia selalu mengajak para fakir dan miskin dan diajak untuk berbuka bersama dan setelah itu ia shalat Maghrib berjamaah. Sekitar 30 menit waktu sebelum shalat Isya, ia baru makan bersama dengan keluarga sampai datang waktu Isya. Setelah waktu Isya, ia keluar rumah dan jamaah diajak membaca Surat Yasin, Ratibul Haddad, Ratib Attas, shalat Isya, shalat Tarawih, shalat Witir dan dilanjutkan dengan shalat Tasbih. Ibadah-ibadah rutin ini, diamalkan secara istiqamah selama bulan Ramadhan.

Habib Abdul Qadir dikenal orang sebagai ahli dzikir, membaca Quran, maulid, Qasidah Al Muthoriah. Sampai sekarang setiap Jum’at sore membaca maulid di tempat ia. Bahkan dalam berpergian (safar), ia tidak ketinggalan wiridnya. Bahkan dalam membaca maulid jika waktunya tidak sampai, ia tetap berdiri sekalipun harus berdiri di kendaraan saat Mahalul Qiyam, walau ia susah payah untuk mengerjakan kebiasaan itu.

Ia juga menjaga shalat jama’ah tidak pernah ditinggalkan, kalau tidak mendapatkan jamaah, ia rela membayar orang-orang fakir untuk diajak shalat jamaah, karena itu adalah sunnahnya Rasulullah SAW. Ia sangat menjaga sunnah-sunnah Rasulullah SAW, hampir-hampir tidak ada amalan sunnah yang ia tingalkan. Apa yang menjadi sunnah nabi, ia selalu berusaha untuk mengerjakan.

“Kalau masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan, kalau ia lupa salah mendahulukan kaku ketika masuk atau keluar masjid, ia tak segan-segan akan mengulanginya lagi agar sama dengan sunnahnya Nabi Muhammad SAW. Demikian juga dalam bersiwak. Siwak tidak pernah ketinggalan, di setiap tempat ada siwak mulai di atas sajadah, almari, kamar, khawatir tidak bersiwak. Demikian menjaga sunnah nabi SAW, ” demikian kata Habib Abu Bakar bin Hasan Assegaf menantu Habib Abdul Qadir.

Tradisi berdzikir dibawa sampai jelang wafat pada waktu ba’da Asar, 19 Syawal 1399 H. Kota Pasuran berduka ditinggalkan oleh Habib Abdul Qadir bin Husin Assegaf. Diakhir umurnya sebelum meninggalkan dunia yang fana, ketika detik-detik terakhir, selang beberapa menit sebelum wafat, ia sempat masuk ke kamar dan memerintahkan salah satu keluarga memanggil Habib Ahmad bin Ali Assegaf untuk masuk ke dalam kamar .

Dibuka seluruh jendela dan ia terbaring dan membaca ayat Al-Qur’an yakni QS At Taubah 128-129. Ketika sampai bacaan la illa hu…ketika itulah ruhnya dicabut oleh Alah SWT.
Tentunya, tidak pandai mengagumi tapi mampu meneladaninya.Paling tidak dengan belajar untuk meneladani kehidupan mereka. Semoga kita dapat mengambil berkahnya, sehingga dapat kita tiru dan kita contoh segala kebaikannya. Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 08:21 0 komentar Link ke posting ini
Label: Manaqib
20.9.08
Hasan bin Ja’far Assegaf Nurul Mustofa
ياايّها الّذين امنوا اذكرواالله ذكرا كثيرا وسبّحوا بكرة واصيلا Wahai orang-orang yang beriman perbanyaklah ingatan kamu kepada Allah SWT dan pujilah Dia pagi dan petang (Al-Ahzab : 41 ) Al Habib Hasan bin Ja’far bin Umar bin Ja’far bin Syekh bin Abdullah bin Seggaf bin Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Adurrahman Seggaf bin Ahmad Syarif bin Abdurrahman bin Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Syekhul Kabir Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi Al Ghuyur bin Al Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohibul Mirbath bin Ali Kholi Qosam bin Aliw bin Muhammad bin alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad An Naqib bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Al Imam Husein Assibit bin Imam Ali KWH bin Fatimah Al Batul Binti Nabi Muhammad SAW. Habib Hasan bin Ja’far Assegaf lahir di bogor tahun 1977, di tengah-tengah wilayah para ulama besar termasuk almarhum kakek beliau Al Imam Al Qutub Al Habib Abdullah bin Muhsin Alatas sebagai pemimpin para wali dizamannya. Silsilah beliau menyambung dari ibundanya, yaitu Syarifah Fatmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah Alatas. 2. Pendidikan Beliau belajar dengan para habaib dan ulama, diantaranya : Al Imam Al Hafidz Al Musnid Al Habib Abdullah bin Abdul qadir Bilfaqih dan putera-putera beliau : Habib Abdul qadir bilfaqih, Habib Muhammad bilfaqih, Habib Abdurrahman bilfaqih ( Pondok pesantren Daarul Hadits Al Faqihiyyah, Malang ). Syekh Abdullah Abdun, Daruttauhid malang Syekh Umar Bafadhol, Surabaya Al Imam Al Arif billah Al Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul qadir Assegaf dan putera-putera beliau diantaranya Al Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf (Yayasan Ats-Tsaqofah Al Islamiyyah ). Al Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi (selaku yang mengijazahkan maulid simtudduror). Al Habib Abdullah bin Husein syami Alatas dikediaman beliau R.a. Al Habib Abubakar bin Hasan Alatas, Martapura. KH. Dimyati, Banten. KH. Mama Satibi dan putera beliau, Cianjur. KH. Buya Yahya, Bandung Muallim Sholeh, Bogor. Dan masih banyak lagi para ulama lainnya. 3. Dakwah Beliau Dakwah beliau menjunjung tinggi Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Mengajak para pemuda pemudi, orang-orang tua maupun anak kecil berdzikir dan bersholawat yang dimulai dari : Kota bogor Sukabumi Bandung Jakarta dan sekitarnya. 4. Tujuan Dakwah Mengikuti kakek moyang beliau sampai kejunjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan mengajak para muslimin dan muslimat : Membaca Al-Qur’an. Membaca Ratib Al-Atas dan Ratib Al-Haddad Mengenalkan salaf sholihin dengan berziarah kepada para wali Allah ketempat orang-orang sholeh. Membesarkan nama Rasulullah dengan pembacaan maulid Harapan Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Seorang bersama yang dicintainya “, harapan beliau agar diakui oleh Rasulullah SAW dan datuk-datuknya. Semoga semua ummat Rasulullah SAW mendapat ridho Allah dan syafaat Rasulullah SAW, kelak nanti dihari kiamat masuk surga bersama Nabi Muhammad SAW. Bersabda Nabi Muhammad SAW : “ Apabila telah tersebar perzinahan, perjudian, permabukan, anak durhaka kepada orang tua, istri durhaka kepada suami dan banyaknya yang makan riba maka masuklah kalian kejalan keluargaku, selamatlah kalian dari malapetaka (Riwayat Abu Daud)


Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 04:22 1 komentar Link ke posting ini
14.9.08
Senarai Qabilah Al-Husseini
Senarai Bilabials Al-Husseini
GELAR KELUARGA ALAWIYIN
Abu-Futhaim Al-Abu-Namaiy Al-Adani
Al-Aidid Al-Aidrus Al-AlHamid-Inat
Al-Al-Qadri Al-Albar Al-Alkaff
Al-Asseggaf Al-Assery Al-Asysyathri
Al-Attas Al-Auhaj Al-Ba'Bud
Al-Ba-Barik Al-Ba-'Aqil Al-Bafaqih
Al-Bafaraj Al-Bahar Al-Baharun
Al-Bahsein Al-Balghoits Al-Banahsan
Al-Baragbah Al-Barrum Al-Basuroh
Al-Basyeban Al-Bayti Al-Bin-Aqil
Al-Bin-Jindan Al-Bin-Sahil Al-Bin-Semith
Al-Bin-Thahir Al-Bin-Yahya Al-Fad'Aq
Al-Habsyi Al-Haddad Al-Haddar
Al-Hadi Al-Hinduan Al-Hiyyid
Al-Jamalullail Al-Jufri Al-Junaid
Al-Junaid-Akhdor Al-Khaneman Al-Kherrid
Al-Khumur Al-Madihij Al-Mahjub
Al-Masyhur Al-Marzaq Al-Maula-Dawillah
Al-Maulakhailah Aal-Al-Mudhar Al-Munawwar
Al-Mugebel Al-Musawa Al-Musyaiyakh
Al-Muthahhar Al-Nadzir Al-Rakhilah
Al-Shafi Al-Shalabiyyah Al-Syahab
Al-Syaikh Abi Bakar Al-Zahir Basymeleh
Bilfaqih Shahib Marbad Alwi Ammil Faqih
Ali bin Muhammad Shahib Marbad Al-Faqih Al-Muqaddam Al-Ustadz Al-A'dzham
Asadullah Fi Ardhihi Aal-A'yun Aal-Battah
Aal-Ibrahim Aal-Barakat Aal-Basri
Aal-Babathinah Aal-Albiedh Al-Turobi
Aal-Bajahdab Jadid Al-Jannah
Aal-Aljailani Aal-Bahusein Aal-Alkhuun
Aal Al-Dzi'bu Aal-Alrukhailah Aal-Basakutah
Al-Sakran Aal-Bin Sumaithan Aal-Syabsyabah
Aal-Alsyili Aal-Syahabuddin Aal-Syaikhon Dan Aal Bin Syaikhon
Shahib Al-Hamra' Shahib Al-Huthoh Shahib Al-Syi'ib
Shahib Qasam Shahib Maryamah Aal Al-Shafi Al-Jufri
Aal Al-Shafi Al-Saqqaf Aal-Thaha Aal-Azhamat Khan
Aal-Ba'alawi Aal-Ali Lala Aal-Ba'umar
Al-Ghazali Aal Al-Ghusnu Aal Al-Ghamri
Aal Al-Ghaidhi Al-Fardy Aal-Quthban
Aal-Qori' Al-Muhdhar Aal-Maknun
Aal Al-Maqaddy Aal-Muthahhar Al-Nahwi
Aal Bahasyim
Read More ..
Diposkan oleh hannan assegaf di 21:57 0 komentar Link ke posting ini
13.9.08
SIAPAKAH YANG DISEBUT BA'ALAWI?
Saudaraku Keturunan Alawiyyin
Bismillahi Rohmanir Rahim

Dalam kitab suci Al-Quran Al-Karim Allah swt telah berfirman:

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda-dosa dari kamu wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya” (Al-Ahzab: 33)

Dan dari riwayat Umar bin Khattab r.a ia mengatakan, bahawa aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

“Setiap sebab (penyebab pertalian keturunan) mahupun nasab (pengikat garis keturunan) akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku, dan setiap keturunan dinisbatkan kepada pengikat keturunannya yakni ayah mereka, kecuali putera-putera Fatimah, maka sesungguhnya akulah ayah mereka dan tali pengikat keturunan mereka” (Hadis riwayat Al-Baihaqi, Al-Thabrani dll)

Juga Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak mengeluarkan sebuah hadits riwayat sahabat Jabir, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Bagi setiap keturunan dari seorang Ibu ada pengikat keturunannya, kecuali putera Fatimah, akulah wali mereka dan tali pengikat keturunan mereka”.

Saudaraku Keturunan Alawiyyin

Wahai Alawi…

Sesungguhnya nasab anda yang mulia dan memberikan kehormatan pada anda oleh adanya hubungan kekeluargaan anda dengan Rasul Yang Agung Muhammad saw melalui Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali Al-Murtadha (Yang ditinggikan Allah swt martabat dan kedudukannya).

Hendaknya dapat menjadi pendorong bagi anda untuk senantiasa berteladan kepada mereka, berjalan lurus mengikuti jalan hidup mereka, berakhlaq seperti akhlaq mereka, berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran mereka dan mengikuti jejak para Imam keturunan mereka, sehingga anda Insyaallah dapat menjadi generasi penerus yang baik daripada generasi pendahulu.

Selanjutnya ketahuilah, bahawa nasab yang mulia ini menuntut anda untuk senantiasa:

1.

Membuang jauh-jauh perasaan angkuh dan bangga diri.
2.

Menjadikan TAQWA sebagai bekal hidup anda.
3.

Menjadikan AL-QURAN sebagai pedoman dan tuntutan dalam kehidupan anda.
4.

Menjadikan para SHALIHIN pendahulu anda sebagai panutan

BIOGRAFI DAN MAKSUD MASING-MASING LELUHUR ALAWIYYIN

Penjelasan:

1.

Nara Sumber Biografi masing-masing Leluhur Alawiyyin adalah:
1.

Kitab “Silsilah Al-Junid” oleh Al-Allamah Assayid Ali bin Muhammad Al-Junid.
2.

Kitab “Syamsyuddahirah” oleh Al-Allamah Assayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyur.
3.

Kitab “Khidmatul – Asyirah” oleh Al-Allamah Assayid Ahmad bin Abdullah Asseggaf.

2.

Nara Sumber Gelar (julukan) masing-masing Alawiyyin adalah:

Kitab “Al-Mu’Jamul Lathif” oleh Al-Allamah Assayid Muhammad bin Ahmad bin Umar Al-Sya’thiriy.
Risalah kecil ini adalah usaha seorang insan kerdil untuk memberi sedikit maklumat mengenai Ba 'Alawi.lni ialah kerana ramai keturunan Ba 'Alawi dewasa ini yang mempunyai sedikit sekali, malah ada yang langsung tiada mempunyai pengetahuan, mengenai asal usul mereka. Saya amat berharap bahawa risalah yang cetek ini dapat menyingkap serba sedikit tentang asal usul Ba 'Alawi, serta menaruh harapan agar ia dapat mencetuskan minat lalu mendorong golongan Sadah daripada keturunan Ba 'Alawi untuk mengenali susur galur mereka secara lebih dekat lagi. Alangkah baiknya kalau risalah inidapat disebar luas bagi menemui seramai keturunan Alawi yang mungkin. Semoga usaha ini diberkati Allah swt - Jaafar bin Abu Bakar AI 'Aydarus.

Ba 'Alawi - Siapakah Mereka ?

Ba 'Alawi ialah gelaran yang diberi kepada mereka yang bersusur-galur daripada Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir Ahmad bin Isa Al-Muhajir (01) telah meninggalkan Basrah di Iraq bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya pada tahun 317H/929M untuk berhijrah ke Hadhramaut di Yaman Selatan. Cucu Ahmad bin Isa yang bernama Alawi, merupakan orang pertama yang dilahirkan di Hadralmaut. Oleh itu anak-cucu Alawi digelar Ba 'Alawi (02), yang bermakna Keturunan Alawi. Panggilan Ba 'Alawi juga ialah bertujuan memisahkan kumpulan keluarga ini daripada cabang-cabang keluarga yang lain yang berketurunan daripada Nabi Muhammad s.a.w. Ba 'Alawi juga dikenali dengan kata-nama Saiyid (Sadah bagi bilangan lebih daripada seorang). Keluarga yang bermula di Hadhramaut ini, telah berkembang dan membiak, dan pada hari ini ramai di antara mereka menetap disegenap pelusuk Nusantara, India dan Afrika.

Ahmad bin Isa Al-Muhajir Ilallah

Dalam abad ke-10 Masehi, keadaan huru-hara mula menyelubungi dan menggugat empayar Abbasiyah yang berpusat di Iraq itu. Kerajaan tersebut kian bergolak menuju keambang keruntuhan. Kewibawaan Abbasiyah semakin terancam dengan berlakunya pemberontakan demi pemberontakan dan ini menjejaskan ketenteraman awam. Keadaan sebegini telah membawa padah kepada keturunan Nabi Muhammad s.a.w yang dikenali dengan gelaran Sadah itu. Pada umumnya ummt Islam menghormati serta menaruh perasaan kasih sayang terhadap Sadah. lni bukan semata-mata kerana mereka ini keturunan Nabi Muhammad s.a.w, tetapi juga kerana mereka melambang pekerti yang luhur, keilmuan yang tinggi dan wara' . Kedudukan yang istimewa dimata umat Islam ini telah menimbulkan perasaan cemburu dan syak wasangka terhadap Sadah dikalangan pemerintah. Mereka juga khuatir kalau-kalau Sadah akan menggugat dan merebut kuasa daripada kerajaan Abbasiyah.

Dengan tercetusnya pemeberontakan demi pemberontakan terhadap pemerintah, kewibawaan Abbasiyah pun menjadi semakin tercabar dan lemah. Keadaan ini juga turut mengancam kedudukan golongan Sadah, kerana mereka sering dikaitkan dengan setiap kekacauan yang tercetus. Dari masa ke masa golongan Sadah menjadi sasaran pemerintah. Ramai diantara mereka yang ditangkap dan dibunuh berdasarkan apa saja alasan .Namun majoriti Sadah bersikap sabar dan menjauhkan diri dari kelompok yang menimbulkan kekacauan. Daripada pengalaman yang lalu golongan tersebut yakin bahawa penglibatan diri di dalam politik akan berakhir dengan kekecewaan.

Ahmad bin Isa al-Muhajir meninggalkan Kota Basrah bersama seramai 70 orang, yang terdiri dari ah1i-ah1i keluarga dan pengikut-pengikut beliau. Pada mulanya kumpulan AlMuhajir ini pergi ke Madinatul Munawwarah dan tinggal di sana selama setahun. Pada tahun berikutnya setelah menunaikan fardhu Haji, Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan rombongan meninggalkan Kota Madinah menuju ke Yaman. Mereka singgah di Al Jubail di Lembah Dau'an, kemudian di Al-Hajrain, dan seterusnya menetap di suatu tempat ,yang bemama Al Husaisah (03). Ahmad bin Isa Al Muhajir Ilallah wafat pada tahun 345.H/956 M.

Permulaan di Hadhralmaut

Ahmad bin Isa rnemilih Hadhramaut untuk berhijrah, rneskipun Hadhramaut rnerupakan suatu kawasan tandus dan kering kontang di Selatan Yaman. Kawasan tersebut pada zaman itu, dikatakan terputus daripada dunia luar. Tentunya banyak persoalan yang timbul tentang mengapa Ahmad bin Isa memilih kawasan sebegini untuk berhijrah. Pada zahimya, pemilihan kawasan tersebut mungkin didorong oleh hasrat beliau untuk hidup di dalam keadaan aman bersama keluarga dan pengikutnya, atau keazaman beliau untuk membina sekelompok masyarakat baru di suatu kawasan baru bersesesuaian dengan kehendak syiar Islam yang didokongi oleh golongan Sadah selama ini. Akan tetapi sebelum sampai ke Hadhramaut Ahmad bin Isa dan rornbongan terlebih dahulu berada di Madinah, tempat yang tenang dan aman lagi sesuai bagi tujuan beribadah dan membina ummah. Namun daripada Madinah beliau dan rombongan bertolak ke Al-Husaisah. Malah di Al-Husaisah Ahmad bin Isa telah pun membeli kebun buah-buahan yang luas. Akan tetapi pada akhirnya beliau memilih Hadhramaut sebagai tempat berhijrah. Sebagai seorang Imam Mujtahid mungkin keputusan yang dibuat beliau itu didorong oleh perkara yang diluar pengetahuan kita, Wallahualam.

Penghijrahan Ahmad bin Isa A1 Muhajir ke Hadhramaut bukanlah bermakna berakhirnya ranjau dan rintangan. Di awa1 penghijrahan beliau, Alhmad bin Isa Al-Muhajir, bersua dengan ancaman daripada golongan Mazhab Ibhadiah (04) yang mernpengaruhi kawasan tersebut. Namun setelah gagal untuk mencapai persefahaman dan perdamaian dengan pihak Ibhadiah, Ahmad bin Isa A1-Muhajir terpaksa mengangkat senjata menentang mereka. Berbanding dengan kaum Ibhadiah, bilangan pengikut Ahmad bin Isa Al-Muhajir adalah kecil. Akan tetapi semangat kental dan kecekalan, yang ditunjukkan oleh Al-Muhajir dalam rnenentang kaum Ibhadiah ini telah menarik perhatian dan simpati penduduk-penduduk Jubail dan Wadi Dau'an yang bertindak rnenyokong Al-Muhajir. Dengan sokongan penduduk-penduduk tersebut kaum Ibhadiah dapat di singkirkan dari bumi Hadramaut.

Cara hidup yang dianjurkan oleh Ahmad bin Isa Al-Muhajir, iaitu kehidupan harian yang berdasarkan A1 Qur'an dan Sunnah itu, senang -diterima oleh masyarakat ternpatan. Lambat laun cara ini rnenjadi norma hidup di dalam rnasyarakat tempatan. Malah beberapa tokoh terkemuka di kalangan Ba' Alawi yang menjalani hidup sepertimana para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w, mempunyai pengaruh yang positif ke atas masyarakat Hadhramaut. Tokoh-tokoh berkenaan lebih dikenali dengan panggilan Salaf. (05)

Walaupun persekitaran baru mereka masih tidak sunyi dengan keadaan huru-hara, masyarakat Ba' Alawi masih boleh menjalankan kehidupan yang aman tenteram. Sebenarnya ini adalah sesuatu yang merupakan cara hidup yang lumrah bagi keturunan Rasulullah s.a.w daripada Hassan dan Hussain. Mereka sentiasa dihormati dan disanjung tinggi di seluruh pelusuk Dunia Islam, lebih-lebih lagi di Hadhramaut. Kehormatan yang diterima ini serba sedikit berpunca daripada amalan golongan Ba 'Alawi yang berjalan tanpa membawa sebarang senjata, sepertimana yang dianjurkan oleh datuk mereka, Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Tambahan pula golongan ini dihormati dan disanjung oleh kerana mereka merupakan golongan yang berilmu lagi wara'.

Apabila Ahmad bin Isa AI-Muhajir serta rombongan (seramai kurang lebih 70 orang ahli keluarga dan pengikut) meninggalkan Basrah , mereka membawa bersama mereka harta kekayaan yang banyak. Dengan harta ini mereka dapat memperolehi tanah yang luas yang digunakan untuk pertanian. Dan sewajarnyalah yang menjadi kegiatan utama golongan Ba 'Alawi di Hadhramaut ini ialah pertanian. Sementara itu mereka juga bebas untuk beribadah dan membina masyarakat berdasakan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.

Fasa Perkembangan Ba 'Alawi

Perasaan golongan Ba' Alawi terhadap kampung halaman mereka di Basrah masih kuat dan menebal, walaupun mereka telah memilih untuk membina penghidupan baru di Hadramaut. Oleh itu tidak hairanlan sekiranya didapati ramai dikalangan Ba 'Alawi yang selalu berulang alik di antara Hadhramaut dan Basrah untuk menziarahi sanak saudara yang masih berada di Basrah. Hubungan diantara Ba 'Alawi dengan Basrah berterusan. Masa kini masih terdapat keturunan saudara AlMuhajir, iaitu Muhammad bin Isa di sekitar Basrah.

Salah suatu ciri hidup golongan Ba ' Alawi ialah mereka ingin bebas bergerak dan tidak suka terkongkong di suatu daerah sahaja. Tambahan pula, di tempat seperti Hadhramaut peluang untuk mencari rezeki terlalu terhad. Ini menyebabkan individu mahupun kumpulan Ba 'Alawi sanggup berpindah memulakan hidup ditempat-tempat yang lain seperti Yaman, Syam (Syria), dan Iraq. Tambahan pula Hadhralmaut merupakan tempat yang tidak mempunyai pemerintahan yang stabil, dan oleh itu tidak sunyi daripada tercetusnya perbalahan dan pergaduhan di antara kabilah-kabilah yang menjadi penghuni tetap di kawasan tersebut.

Sejarah perkembangan Ba 'Alawi, mengikut pandangan Sayid Ahmad bin Muhammad Assyathiri (06) boleh dibahagikan kepada empat fasa, setiap fasa mempunyai cirinya yang tersendiri. Perkembangan ini adalah bergolak di sekitar beberapa tokoh Ba 'Alawi, serta juga pengalaman jatuh bangunnya mereka dalam menempuhi kehidupan yang sering berubah itu. Namun begitu, golongan Ba 'Alawi masih berpegang teguh kepada keperibadian mereka, dan perkara yang mempegaruhi kecekalan golongan ini ialah istiqamah kepada ajaran AlQur'an dan Sunnah. Fasa perkembangan Ba 'Alawi boleh dihuraikan seperti berikut:

Fasa Pertama

Fasa ini bermula dengan zaman Ahmad bin Isa Al-Muhajir dan berakhir dengan Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali, (07) iaitu jangka masa di antara abad ke-3 hingga abad ke-7 Hijrah. Pada zaman tersebut pemimpin dan tokoh-tokoh Ba 'Alawi dikenali dengan gelaran Imam. Tokoh-tokoh pada masa itu digelar dengan panggilan Imam Mujtahid, iaitu mereka yang tidak terikat dengan mana-mana mazhab. Tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu ialah keturunan daripada Ubaidullah bin Ahmad bin Isa AlMuhajir, melalui 3 orang putera beliau, iaitu Bashri, Jadid dan Alawi. Namun begitu, keturunan Bashri dan Jadid tidak berhayat panjang. Mereka hanya dapat mempelopori dan mengembangkan penyebaran ilmu hinggalah ke tahun 620an H/1223M. Keturunan Bashri dan Jadid yang terkemuka ialah Imam Salim bin Bashri (wafat pada 604H/1208M) dan Imam Abu Hassan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat pada 620H/1223M). Tradisi pengajian Ilmu, bagaimanapun di teruskan oleh keturunan Alawi, dan yang lebih terkenal di antara mereka ialah Imam Muhammad bin Ali bin Alawi. Beliau lebih dikenali dengan gelaran Sahib Marbat (wafat pada 556H/1161M). Tradisi keilmuan, (08) ini juga diteruskan oleh dua orang putera Sahib Marbat, iaitu Imam Alwi dan Imam A1i, dan oleh putera Imam Ali, iaitu Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali, serta tokoh-tokoh yang datang kemudian daripada mereka.

Fasa Ke-Dua

Zaman yang dikenali sebagai fasa ke-dua ialah di antara abad ke-7 hingga abad ke-11 Hijrah. Pada zaman tersebut tokoh-tokoh Ba 'Alawi yang terkemuka disebut dengan nama As-Syaikh. Zaman ini bertepatan dengan era Al-Faqih Muqaddam Muhammad hingga ke zaman sebelum Habib Al-Qutub Abdullah bin A1awi Al-Haddad. Di antara ulama-ulama yang terkemuka di zaman ini ialah Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali (wafat pada 653H/1255M), As-Saqqaf (09) (wafat 819H/1416M), Al-Mahdar (10) (wafat 833H/1429M), Al-'Aidarus (11) (wafat 865H/1460M), dan Zain Al-Abidin Al-'Aidarus (12) (l041H/1631M). Pada ketika tersebut bilangan Ba 'Alawi sudah menjadi bertambah ramai dan mereka mulai dikenali dengan nama kabilah masing-masing seperti As-Saqqaf, Al-Mahdar, Al-'Aidarus, Al-Habisyi, Al-Junid, Jamalullail dan banyak lagi.

Fasa Ke-Tiga

Zaman yang dikenali sebagai fasa ke-tiga ialah di antara abad ke-11 dan abad ke-14 Hijrah. Pada zaman tersebut tokoh-tokoh Ba 'Alawi dikenali dengan panggjlan Al-Habib. Ulama-ulama yang terkemuka pada zaman ini ialah Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (wafatI132H/1717M), Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi, Habib Hassan bin Salleh Al-Bahr, dan Habib Abdurrrahman Bilfagih (wafat 1163H/1749M) dan beberapa orang tokoh yang lain. Pada masa ini juga keturunan keluarga Ba 'Alawi terus membiak. Keadaan ini membawa kepada migrasi (perpindahan keluar) yang begitu pesat. Pada abad ke-11 dan ke-12 berlaku penghijrahan ke India (13), Timur Jauh (Far East), Afrika Timur dan Hijjaz, sementara di abad ke-13 berlaku pula penghijrahan ke Asia Tenggara (terutama ke Indonesia dan Malaysia). Kaum Ba' Alawi mewarisi semangat suka merantau. Mereka juga tidak gemar diri mereka terkongkong di suatu kawasan. Namun begitu Ba 'Alawi juga merupakan golongan yang senang menyesuaikan diri dengan penduduk tempatan dimana sahaja mereka merantau. Akan tetapi, seberapa jauhnya mereka daripada Hadhramaut, hubungan erat dengan kampung halaman induk masih dikekalkan. Mereka yang menjalinkan perhubungan melalui perkahwinan dengan penduduk tempatan dan masih menghantarkan anak-anak mereka ke Hadhramaut, terutama ke Tarim, untuk menuntut ilmu secara tradisi yang diasaskan oleh pelopor-pelopor Ba 'Alawi.

Perubahan Yang Ketara

Pada penghujung fasa ke-tiga didalam Sejarah Ba 'Alawi, perubahan ke arah kemunduran dikalangan Ba 'Alawi di seberang laut dapat dikesan. Walaupun tradisi pulang ke Hadhramaut untuk menziarahi keluarga masih diamalkan, ramai pula di antara mereka yang telah bermastautin di India dan Asia Tenggara, mula menampakkan proses asimilasi dengan masyarakat tempatan, iaitu menerima dan menyerap budaya dan tradisi persekitaran. Sementara golongan Ba 'Alawi pada mulanya menjauhkan diri daripada kegiatan politik melainkan perkara-perkara yang menyentuh kebajikan dan ketenteraman umum, mereka yang terkemudian mula mencebur diri dengan politik. Ada di antara golongan Ba 'Alawi yang mempunyai hubungan rapat dengan raja-raja dan penguasa tempatan, dan telah menggunakan pengaruh mereka. Pernah diceritakan bahawa tokoh- tokoh Al-Mahdar, Al-'Aidarus, Jamalullail dan A1Haddad, mempunyai hubungan yang intim dengan pihak istana, sehinggakan raja-raja. sentiasa merujuk kepada mereka untuk mendapat nasihat (14). Budi pekerti yang luhur, disiplin diri dan didikan yang menjadi tradisi dikalangan Ba 'Alawi adalah faktor utama meyebabkan mereka dihormati dan disanjungi, sementara ciri peribadi istimewa sebilangan mereka membolehkan mereka diterima sebagai pemimpin masyarakat tempatan. Ada pula dikalangan mereka yang berkahwin dengan ahli keluarga diraja, dan pada akhimya mereka diangkat menjadi raja, contohnya, Syahab di Siak dan Jamalulail di Perlis. Beberapa kesultanan juga diasaskan oleh tokoh- tokoh Ba 'Alawi. Sebagai contoh, Al-'Aidarus menubuhkan kerajaan di Surat (India), dan di Kubu (Kalimantan), Al-Qadri dan Bin Syaikh Abu Bakar di Kepulauan Comoros, A1Qadri di Pontianak (Kalimantan) dan Balfagih di Filipina.

Fasa Ke-Empat

Zaman yang dikenali dengan Fasa ke-empat ini ialah di antara abad ke-14 Hijrah hinggalah dewasa ini. Perubahan yang bermula dipenghujung Fasa ketiga menjadi semakin ketara di zaman ini. Dalam beberapa aspek hidup, golongan Ba 'Alawi telah menempuh keruntuhan dari segi pegangan moral dan etika yang diasaskan oleh pelopor-pelopor di Hadhramaut dahulu. Zaman ini bertepatan dengan kemunduran Dunia Islam keseluruhannya, akibat dilanda budaya Barat. Golongan muda Ba 'Alawi, terutama mereka yang bennastautin di tanah jajahan Inggeris dan Belanda mula meninggalkan pendidikan tradisional berasaskan Al-Qur'an dan Sunnah, dan memilih pendidikan Barat. Walaupun masih terdapat tokoh-tokoh Ulama Ba 'Alawi dikalangan mereka, namun bilangan mereka adalah terlalu sedikit berbanding dengan masyarakat Ba 'Alawi amnya. Keadaan sedemikian telah menghakiskan status Ba' Alawi keseluruhannya.

Ba 'Alawi Masa Kini

Keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir pada masa kini membiak dengan banyaknya. Mereka bemastautin di sebahagian besar pelusuk dunia. Mereka ialah keturunan kelompok-kelompok Ba 'Alawi yang keluar dari Hadhramaut. Mereka dikenali dengan berbagai gelaran seperti Syed atau Saiyid, seperti di Indonesia dan di Malaysia. Mereka juga dikenali dengan nama Habeeb seperti di India, Sidi, Syarif, Tuanku, Engku, Wan dan beberapa panggilan lagi. Namun begitu disebabkan beberapa faktor ramai pula keturunan Ba 'Alawi yang telah kehilangan identiti mereka. Kebanyakkan dari golongan ini menganggap mereka sebagai orang tempatan dengan mengamalkan budaya tempatan dan melupakan budaya datuk nenek mereka. Ramai pula keturunan Ba 'Alawi yang berakar umbi di tempat-tempat yang mereka tinggal kini, sejak datuk nenek mereka berhijrah seawal-awal abad ke-15 Masehi dahulu. Mereka tidak lagi mengenali asal-usul mereka, dan perhubungan mereka dengan negeri Ibunda telah begitu lama terputus.

Walaupun ramai ahli keluarga Ba 'Alawi yang telah hilang identiti, namun ramai pula yang masih berpegang teguh dengan asal-usul mereka dan mengambil berat tentang silsilah keluarga. Mereka juga masih menjalin hubungan dengan saudara mara di Hadramaut. Golongan ini terdiri daripada anak cucu mereka yang keluar merantau dalam abad ke-18 dan ke-19. Ramai daripada mereka terutama anak cucu Ba 'Alawi yang berhijrah terkemudian dan tinggal di kawasan-kawasan berhampiran pelabuhan. Mereka masih berpegang teguh dengan beberapa tradisi Ba 'Alawi, dan ada yang masih fasih berbahasa Arab. Oleh itu, sayogianya kita bertemu dengan kelompok keturunan Ba 'Alawi yang masih berpegang dengan tradisi dan amalan datuk nenek mereka, maka kita akan bersua dengan amalan seperti membaca Maulid Diba'ii, Ratib Haddad, Ratib Al 'Attas dan lain-lain lagi. Sepekara yang menggembira dan menggalakkan ialah bahawa mereka daripada golongan ini giat menghidupkan kembali dan mengembang tradisi ini di kalangan keturunan Ba 'Alawi yang sudah jauh terpisah daripada kelompok asal. Ini dilakukan dengan menarik dan menggalakkan mereka menghadiri majlis Ta'lim atau Rohah, sekaligus mengukuhkan silaturrahim diantara mereka. Namun begitu masih ramai lagi daripada keturunan Ba 'Alawi yang hanyut di bawa arus kemodenan dan kejahilan, dan belum lagi terdedah kepada amalan murni Ba 'Alawi. Mereka ini amat perlu mendapat perhatian.

Seorang ulama besar yang wafat di Jakarta, iaitu Habib Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab, pemah melahirkan harapan agar generasi-generasi yang datang kemudian dari keturunan 'Alawi akan memegang teguh kepada agama Islam, mejaga pusaka nenek-moyang, dan jangan sampai tenggelam kedalam peradaban Barat (15). Marilah kita sama-sama berdo'a agar Allah s.w.t memberi taufik dan hidayah semoga mereka yang terpisah ini akan jua balik ke pangkal jalan mengenali diri dan asa1 usul mereka, serta menghargai warisan mereka yang sebenarnya. Sesuai dengan hadith (16) Rasulullah s.a.w mengenai pentingnya mempelajari tentang nasab, kita menaruh harapan yang mereka juga akan mengambil berat tentang nasab masing-masing.

PENERANGAN 01

1. Ahmad bin Isa bin Muharnmad An-Naqib bin Ali 'Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussain bin Ali dan Saiyidatina Fatimah Azzaharah binti Saiyidina Muhammad saw.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 02

2. Ba ' Alawi juga dikenali dengan nama Bani Alawi.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 03

3. Al-Husaisah terletak diantara Saiwon dan Tarim tetapi dewasa ini tempat tersebut telah tertimbus dibawah timbunan padang pasir.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 04

4. Ibhadiah adalah pecahan daripada golongan kaum Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin Ibhad. Kumpulan ini telah beberapakali memberontak menentang Khalifah Umayyah. Pemberontakan yang terkenal ialah pemberontakan yang diketuai oleh Abdullah bin Yahaya pada tahun 129 Hijrah. Kaum Ibhadiah seterusnya meluaskan pengaruh mereka ke Oman, Yaman dan Hadhramaut.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 05

5. Panggilan Salaf, pada umumnya, adalah ditujukan kepada mereka yang hidup di dalam abad pertama hingga ke-3 Hijrah, atau lebih tepat lagi ditujukan kepada para sahabat Nabi saw., Tabi'in dan Tabi'it-tabiin. Walau bagaimana pun para ulama Hadhralmaut menggunakan panggilan Salaf ke atas ulama-ulama terawal mereka yang soleh.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 06

6. Sirah As-Salaf Min Bani 'Alawiy Al-Husainiyin, dicetak oleh Alam Ma'rifah, Jeddah 1405 Hijrah.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 07

7. Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali ialah personaliti Sadah yang menumpukan khusus kepada ilmu Tasauf di dalam abad ke-13 Masehi. Beliaulah yang bertanggung- jawab mewajibkan golongan Sadah meninggalkan senjata dan memberi tumpuan sepenuhnya kepada agama dan akhlak. Setelah itu ciri utama yang mempengaruhi pemikiran dan cara hidup golongan Sadah ini ialah Ilmu Tasawuf. Penulis-penulis dari golongan Sadah banyak menumpukan karya mereka dalam bentuk puisi. sama ada berbentuk agama mahupun sekular, dan juga kepada sejarah keturunan (silsilah) - Wadi Hadhramaut and The Walled City of Shibam, karya Ronald Lewcock, dan dipetik daripada cetakan UNESCO 1986.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 08

8. Dalam jangka masa inilah Ba 'Alawi menerima Mazhab Syafi'ie sebagai anutan dan merekalah yang seterusnya bertanggung-jawab menyebarkan ajaran Imam Syafi'ie ke negeri-negeri di pesisiran pantai Lautan Hindi. -ibid.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 09

9. Abdurrahman As-Saqqaf bin Muhammad Mawla Dawilah, yang lebih dikenali dengan gelaran As-Saqqaf (bermakna atap) oleh kerana keilmuan agama beliau begitu mendalam sehingga apabila dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain, 'alimnya umpama atap dengan lantai. As-Saqqaf adalah seorang hartawan akan tetapi kekayaan beliau tidak menghalang dirinya menjadi seorang yang wara'. Beliau membelanjakan sebahagian besar hartanya untuk tujuan agama. Beliau membina 10 buah masjid dan telah memperuntukkan waqaf bagi membiayai perjalanan masjid tesebut.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 10

10. Umar Al-Mahdar bin Abdurrahman As-Saqqaf, ialah seorang ulama yang terkenal dengan sifat dermawan beliau. Rumah beliau sentiasa dipenuhi dengan tetamu-tetamu yang berkunjung untuk bertanya mengenai hal agama ataupun hal duniawi. Beliau juga dikenali sebagai seorang yang menanggung sara hidup beberapa keluarga yang susah. Beliau membina tiga buah masjid.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 11

11. Abdullah bin Abi Bakar As-Sakran bin Abdurrahman As-Saqqaf masyhur dengan gelaran Al-'Aidarus. Beliau baru menjangkau usia 10 tahun apabila ayah beliau meninggal dunia. Oleh itu beliau dipelihara oleh paman beliau iaituAl-Mahdar yang sekali gus menjadi guru beliau. Abdullah dididik oleh paman beliau didalam ilinu Syariat, Tasawuf dan Bahasa Arab. Semasa wafatnya Al-Mahdar Al-'Aidarus baru berusia 25 tahun. Jemaah Ba' Alawi sebulat suara bersetuju untuk melantik Imam Muhammad bin Hassan Jamalullail sebagai naqib baru menggantikan Al-Mahdar , akan tetapi Imam Muhammad Jamalullail menolak. Sebaliknya Imam Muhammad meminta Al' Aidarus dilantik sebagai naqib. Abdullah Al-'Aidarus adalah seorang ulama' berkaliber tinggi. Beliau bertanggungjawab menyebar luas ilmu dan dakwah, tekun mengisi waktu beliau dengan ibadah. Beliau juga menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam buku Almasyra' Arrawiyfi Manaqib Assadah Al-kiram Bani Alawiy,beliau disebutkan bahawa, " dalam kedermawanannya bagaikan seorang amir, namun dalam da1am tawaddu' bagaikan seorang fakir ". Beliau sangat senang menampakkan nikmat Allah ke atas dirinya dengan mengenakan pakaian indah, kenderaan rang megah dan rumah kediaman yang mewah.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 12

12. Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syeikh Al-'Aidarus adalah seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya ialah ayahnya sendiri. Beliau bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, dan tidak pernah berpisah dengan ayahnya selama ayahnya rnasih hidup. Setelah ayahnya wafat, Zain Al-Abidin menggantikan ayahnya sebagai naqjb. Beljau mencurahkan sepenuh tenaga dan pemikiran untuk kepentingan umum dan Ba 'Alawi khususnya. Beliau dihormati oleh Sultan-sultan di Yaman, dan dalam menjalankan urusan pentadbiran, mereka merujuk kepada beliau sebelum membuat apa-apa keputusan. Ini menyebabkan Zain Al-Abidin mempunyai ramai musuh. Akan tetapi kebijaksanaan beliau dalam mengendalikan musuh-musuh tersebut dapat menawan hatI mereka, yang pada akhirnya musuh bertukar menjadi sahabat. Selain daripada mempunyai pengetahuan dan kewibawaan yang tinggi di dalam ilmu Syari'at, Tasawuf dan Bahasa Arab, beliau juga mempunyai pengetahuan dan kemahiran yang mendalam dalam bidang pertanian yang diajarkan kepada ramai. Diakhir hayatnya, beliau juga terkenal sebagai seorang tabib yang berwibawa.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 13

13. Dalam tahun 1930-an adalah dianggarkan bahawa sekurang-kurangnya 13,000 orang daripada keturunan Ba 'Alawi berada di Hyderabad, India. Ramai di antara mereka menjadi anggota dan pegawai tentera Nizam Hyderabad (Nizam's Arabian Regiment). Sumber dipetik daripada buku "Hadramaut -Some of Its Mysteries Unveiled oleh D. Van Der Meulen dan H. Von Wissmann.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 14

14. Muhanunad bin Ahmad As-Syathiri, didalam buku beliau, Sirah As-Salaf Min Bani Alawiy AI- Hussainiyin, untuk membuktikan perkara ini, telah meriwayatkan bahawa Sultan Badr bin Thuwairiq pernah menzahirkan hasrat baginda untuk turun daripada takhta dan menyerahkan kuasa dan pemerintahan kepada Al-lmam Hussain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim (wafat lO44H/1635M). Akan tetapi Imam Hussain secara bijaksana menolak dan meyakinkan baginda supaya terus memerintah, serta berjanji memberi segala bantuan dan nasihat kepada baginda.

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 15

15. Lihat Soal Jawab Agama Islam oleh Prof Dr. Hamka. penerbitan Pustaka Melayu Baru, Kuala Lumpur. 1978. m.s 58

Kembali ke pembacaan

PENERANGAN 16

16. Dari Abu Hurairah r.a .katanya bersabda Rasulullah s.a.w : "Pelajarilah olehmu tentang nasab-nasab kamu agar dapat terjalin dengannya tali persaudaraan kamu. Sesungguhnya menjalin tali persaudaraan itu akan membawa kecintaan terhadap keluarga, menambah harta, dan memanjangkan umur". Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya. Tarmizi dan Al-Hakim.